Buat Fajri Jumaiza (23) menggoyang-goyangkan tembikar untuk merandang kopi (demikian ia menyebutnya) sudah dilakoni sejak ia membuka Konco Brew Bar setahun lalu, sebuah kedai kopi di kota Padang. Untuk pembaca yang mau mempraktekan cara roasting kopi  dengan tembikar, dipersilakan menyimak pengalaman Fajri yang menjadikan alat ini sebagai ajang latihan sekaligus awal kiprahnya sebagai roaster.

Mengapa dengan balango ? Awalnya di tahun 2015 ia ditawari modal usaha oleh almamaternya, Universitas Andalas melalui program Mahasiswa Wirausaha untuk membuka sebuah coffee shop dengan usaha potong rambut. Tapi karena tetap ingin berkonsentrasi di kedai kopi, ia memutuskan untuk mendirikan “Koncobrewbar” dengan filosofi kopi dan pertemanan.

Dengan modal terbatas mulailah Fajri yang harus tertatih di awalnya memikirkan bagaimana caranya merandang atau me-roasting kopi. Tentu tak kuat untuk membeli mesin roasting yang harganya belasan hingga puluhan juta.

Untunglah Alfriadiansyah (Adi), seorang penggiat kopi Solok memebrikan ide kepada Fajri. “Mengapa tidak dengan balango” begitu saran Adi yang telah mempraktekan cara me-roasting kopi dengan tembikar.

Mudah ditemukan karena banyak dijual di pasar, hasil lumayan bagus, dan harga tentu saja sangat murah, jadi mengapa tidak ia mulai saja dengan menggunakan balango tembikar? demikian kira-kira kata Fajri dalam hatinya.

Cara roasting dengan balango. Menurut Fajri, sebelum digunakan balango harus sedikit dimodifikasi dengan menambahkan seutas tali yang mengikat balango. Gunanya untuk mengegrakan balango maju mundur pada saat roasting agar biji kopi mendapatkan panas yang merata. Selain itu tentu saja mengurangi beban kerja tangan apabila tanpa dibantu oleh pengikat balango.

Sumber panas yang digunakan oleh Fajri adalah sebuah kompor gas dengan jarak api dan balango yang diatur sedemikian rupa agak tidak terlalu berdekatan. Ia menunggu suhu hingga panasnya mencapai 150 derajat celsius dengan bantuan sebuah thermometer.

Setelah suhunya tercapai ia memasukan kopi sebanyak 100 gram sebagaimana kapasitas maksimal balango dan mulailah ia menggerakan balangonya secara ritmis, mau mundur. Fajri menyarankan untuk terus melihat besaran api dan bila sudah mulai terlihat akan mencapai crack atau rekahan pertama, api mulai dikecilkan secara perlahan. Api ia matikan pada saat terjadi letupan kopi pertama dan balango terus digerakan sepanjang 2 menit.

Waktu yang diperlukan biasanya antara 8 hingga 10 menit dan setiap hari ia biasa memproduksi 1 kg kopi. Ya dari balango.

Mesin roasting baru dari William. Kini ia tidka lagi menggunakan balango, sebuah mesin roasting buatan William Edison sudah dimiliki oleh Fajri dari hasil ia berjualan kopi. Dengan kapasitas 1 kg per kilo, tentunya Konco bisa memperoduksi lebih banyak kopi.

Sehari Konco bisa didatangi oleh 5oan orang pengunjung yang kebanyakan dari kalangan mahasiswa yang menikmati kopi hasil racikan Fajri.

Omzet per hari ? Biarlah Fajri yang tahu, tapi saya sependapat bahwa membuka warung kopi seperti apa yang kini dilakoni oleh Fajri membawa berkah bagi siapa saja yang mau berusaha tsebagaimana ia mengawalinya dengan sebuah alat yang sangat sederhana, tembikar,

 *  *  *