Saat Monomania pertama kali membukakan pintu untuk pengunjung di awal tahun 2016, Louise Hong mengerjakan hampir semua jenis pekerjaan dan praktis tanpa bantuan siapa-siapa. Tamu di cafe-nya harus rela menunggu hingga ia menyelesaikan roasting kopi hingga selesai, dan itu berlangsung berbulan-bulan sebelum ia merekrut karyawan.

Di hari Natal kemarin, saya berbincang dengan Louise, seorang roaster kopi dari Monomania yang berlokasi di Ruko Mendrisio 3 Blok B No.63, Gading Serpong, Banten. Sejak tahun 2016 ia menjalani sebuah profesi yang hingga saat ini masih banyak dilakukan oleh pria dan semua itu dari hasil belajarnya secara otodidak. Hebat bukan ?

Bekerja di Australia. Setelah menamatkan pendidikannya di salah satu college di kota Sydney bidang Hospitality, Louise belum hendak pulang ke Indonesia. Saat itu tahun 2008, ia masih melanjutkan pekerjaan sampingan selama menempuh pendidikan di sana sebagai Barista di sebuah cafe shop.

Benar-benar memulai dari nol tanpa pernah tahu bagaimana menyajikan kopi. “Modal nekat aja sih sambil mencari penghasilan selama kuliah” yang ia lakukan selama 6 tahun di negara ini.

Sebagaimana Louise, mencari uang tambahan sembari kuliah, praktek tersebut sudah lumrah dan banyak dilakoni oleh para mahasiswa Indonesia di Australia. Walau hanya diijinkan bekerja selama 20 jam per minggu, tapi ia mulai mencoba memahami cara bekerja di coffee shop kecil kawasan Darling House, kota Sydney.

Tentu tak mudah pada awalnya dan Louise mengingat bagaimana sulitnya melakukan steam susu di awal ia bekerja. Steam wand mesin espresso yang belum menyentuh susu tapi tombol sudah diputar dan mengakibatkan uap mulai keluar dalam kecepatan tinggi membuat susu luber kemana-mana. “Itu pengalaman tak terlupakan” katanya sambil terbahak.

Diajari lebih lanjut oleh mentornya sambil melihat bagaimana cara steam susu di internet dan ia berhasil melalui ujian ini. “Tapi tetap, rasa lebih penting sebelum latte art yang menjadi sebuah nilai tambah”, katanya.

Itu sekilas bagaimana Louise yang harus menempuh beragam tantangan apalagi  saat awal tinggal di Australia ia tak begitu fasih berbahasa Inggris.

Hampir 1 dekade akhirnya ia memutuskan pulang dan membawa sedikit tabungan selama bekerja di sana dan tak perlu waktu lama untuk memutuskan untuk membuka Monomania. Sebuah nama yang ia pilih, “Mono artinya 1, dan mania ya gila” saat ia diminta menceritakan pemilihan nama coffee shop dan roastery-nya.

Mesin roasting 15 Kg. Louise sangat berbahagia bila pelanggannya berkomentar positif tentang hasil roasting-nya. Ia merasa idealismenya terbayarkan saat ia membaca percakapan dengan para pelanggan di telepon genggamnya.

Inilah yang menjadi alasan ia menjalani pekerjaan sebagai seorang roaster yang harus berkutat dengan udara panas sembari terus memperhatikan grafik dan menyesuaikan parameter di layar komputer dan mesinnya.

Memulai dengan mesin roasting berkapasitas 1 kilogram dari Froco saat ia pertama kali bertemu dengan Christian Heryanto yang menjelaskan beragam fitur mesinnya.

Seiring bertambahnya jumlah pesanan, ia merasa harus berjibaku dengan mesin yang hanya 1 kg untuk berproduksi. Dirasa tak cukup ia memesan mesin dengan kapasitas yang lebih besar. Tak tanggung-tanggung, kini mesin roasting dari Froco yang bisa menampung 15 kg kopi per sekali proses sudah terpasang di ruang belakang Monomania.

Biarkan mereka berbahagia. Sembari melanjutkan percakapan, saya menemani Louise yang sedang memanaskan mesin roasting 1kg nya sambil sebelunya memeriksa kadar kandungan air biji kopi.

Ia tak sedikitpun canggung mengoperasikan mesin dari Froco yang dilengkapi oleh piranti lunak yang memberikan kemudahan para roaster untuk melakukan beragam perubahan indikator berdasarkan parameter yang antara lain pengaturan suhu beserta kecepatan putar drum, suhu biji kopi, air-flow, dan penentuan target waktu proses roasting.

Sesudah parameter siap dan suhu drum sudah sesuai Louise mulai memasukan biji kopi. Memainkan keyboard seraya matanya tak lepas dari layar televisi berukuran besar dan sesekali mengeluarkan kopi dari tuas untuk mecium aromanya.

Udara panas yang dihasilkan oleh mesin roasting tak sedikitpun mengganggu konsentrasinya dan kurang dari 15 menit, kopi Nikaragua sudah ia keluarkan dari drum. Setelah dingin ia cukup menggigit biji kopinya sambil memprediksi rasa yang akan didapat setelah diseduh.

Ah Louise, percakapan 4 jam rasanya masih sangat kurang untuk sebuah diskusi yang tak ada habisnya. Apalagi ia masih bersemangat bagaimana ia melakukan beragam percobaan untuk hasil seduh yang optimal. Ia sangat detail untuk urusan yang satu ini, apalagi dengan alat refractometer yang ia gunakan untuk resep seduh terbaik buat para pelanggannya.

Jangankan menguji rasa kopi, air mineral hingga banyak susu pun ia cicipi, semata untu menyenangkan para pelanggannya saat menyeduh kopi di rumah.

“Kamu tak akan paham karakter seseorang hingga kamu bisa tahu sudut pandang kehidupannya” kira-kira begitu terjemahan bebas saya, saat Atticus memberikan nasihat kepada Scout, dalan novel To Kill A Mocking Bird-nya Harper Lee.

Tapi sesudah berbincang dengan Louise. setidaknya saya sedikit tahu kalau Monomania hanya ingin agar para pencicip kopinya merasa berbahagia. Itu saja.

Louise Hong, sedikit dari salah satu roaster perempuan di Indonesia !

* * *