If you’ve made roasting as a required alternative to buying reade-made coffee, then you should definitely have a go at this Japanese kit under the brand “Earthenware”. My assumption is indeed true; coffee is like a traveling Sufi (Islamic mysticism) – it’s a journey in search of the deepest essence that makes it so profound – which begins with a simple cup of coffee, and the curiosity which leads us to brew our own, and try on various brewing tools, until we finally come to a point where an important decision is made and we declare that, “I’ve gotta roast my own coffee” – it is then that you can say to yourself; congratulations! You’ve officially become a member of Majelis Ulama Kopi Indonesia (Indonesian Council of Coffee Cleric). But enough babbling – let’s talk about Earthenware!

One way to understand how coffee works is to roast it on your own, and Earthenware roaster can expand your horizons in witnessing the chemical process that occurs when raw coffee beans are cooked. Earthenware clay is made ​​in Japan – with a length of about 25 cm and the width of 15 cm it’s a lightweight little kit. As usual, they are made with the best quality; circularly shaped, with a handle wrapped by a material made of cane for easy gripping. The handle has a cavity which is used to take the roasted coffee, because it is connected with the circle where the raw beans are filled in. It has a smooth surface and a lovely red-brick color, available via Philocoffe for Rp. 430,000.

Its maximum capacity is 50 grams, and the end result will be less than that, since 20% (or about 10 grams) of the coffee will reduce in size during the roasting process.

Its 50 grams capacity is relatively small because you can only make four cups of coffee – assuming that each uses 10 grams of coffee water (150 ml to be exact). Hideo demonstrated how to use this dainty little clay pot on a stovetop, which was started by warming it up before the coffee beans were added in. Within less than 10 minutes, the temperature began to rise, and the pot had risen its temperature when we added in our choice of raw coffee – arabica coffee beans from Finca Santa Isabel, El Salvador, planted on an altitude of 1300-1400 meters above sea level.

The roasting began with moderate temperatures and the pot (with the coffee already added in) was rhythmically being shaken in a circular motion to distribute the heat. Of course the temperature settings depended on how big or small the fire was, as well as the distance between the pot and the fire. We placed it approximately within 5 cm from the fire so that the sudden excessive heat wouldn’t ruin the coffee. The temperature was gradually increased and within several minutes or so, so small cracklings occured. Unfortunately we were too busy with the whole roasting process that we forgot to write down any details on it.

Of course when we gave it a go, we didn’t have any certain length of time for the coffee to roast – moreover, we just went along with the process. It turned out that the time spent was about 20 minutes, and that included moving the pot endlessly – and manually –within that duration of time.

The shaft began flying – however since it was still early stage, it didn’t bother us as much, and finally within the second crackling the coffee was taken out through the end of the hollow handle of the pot. It was a pleasure to see fairly roasted results of the coffee beans although some of the colors were different. It’s quite forgiven, really, for a simple roasting pot that surely beat the result I did when trying to roast my own coffee using a Teflon pan.

Five days later, I tried the roasted El Salvador coffee by brewing it with a french press. If Philo called it a blessing, I called it a coffee makrifat, an important phase within the sufi when a person enjoys the satisfaction of a perfectly brewed cup of coffee with gratitude and tranquility. The El Salvador coffee gave a nice sensation of a sweet chocolatey taste that soaked in and ended up with me wanting more, because as soon as I finished it, I thought to myself, “it’s actually not bad, let’s drink again … ”

Essentially, Earthenware’s coffee roaster pot can generate a drinkable aroma and flavor of coffee that doesn’t make you cringe due to the flat tastes it gives, especially when one does a typical DIY amateur coffee roasting experiment. It takes fewer hours of practice to make the best use of this Earthenware pot; such as the distance between the pot and the fir;, the amount of heat source to set the right temperature; and the knowing when to stop roasting. Moreover, this tool can be used for anyone who has a passion to further recognize the basic coffee roasting, because using an Earthenware could be one of a great starting points to begin with (this article has been discussed by Philocoffee with the title Home Roasting Adalah Berkah (DIY Roasting is a Blessing).

 *  *  *

My thanks to Hideo Gunawan, the property owner of the Earthenware pot I’ve used for this review.

PS: Nahdlatul Ulama (An Indonesian social organization) as an organization is rich with the tassawuf tradition, which is a way to get closer to the Creator. People who practice it are called “Sufi” and interestingly enough, looking at the history of coffee – or qahwa in Arabic – it can not be separated from the role of the Sufis who began to popularize coffee (al-bun) in the 13th century. Sufis who consumed coffee and performed their daily religious rituals somehow felt more transcendental – a belief that transformation is more intense to God and this is usually called qahwa al ma’nawiyah. (Thanks Philocoffee for the info). Hopefully someday, Cikopi.com will be included as one of the Jam’iyah thoriqoh al-mu’tabaroh Nahdliyyah or trusted groups within the organization of NU.

Drinkable. My comment is plain and simple –  aside from its 50 grams capacity, this pot is able to produce coffee that is absolute joy to taste!

Pengalaman Sufistik dengan Earthenware

Kalau Anda sudah menjadikan roasting sebagai kegiatan yang hukumnya wajib dilakukan karena enggan membeli kopi yang sudah jadi,  maka alat buatan Jepang dengan nama “Earthenware” ini harus dicoba. Rasanya benar asumsi saya, kopi bagaikan sebuah perjalanan sufistik (mistisime dalam Islam) dalam mencari hakikat terdalam minuman ini. Diawali dengan mencicipi secangkir kopi lalu mulai menyeduh sendiri,  mencoba berbagai alatnya, hingga pada suatu titik membuat keputusan penting dan mendeklarasikan : “Saya harus me-roasting” sendiri”. Selamat! Anda sudah bisa menjadi anggota Majelis Ulama Kopi Indonesia (MUkI). Cukup ngawurnya, mari kita bahas alat ini, Earthenware !

Rancang bangun Earthenware.  Salah satu cara memahami kopi adalah dengan melakukan roasting sendiri dan alat seperti Earthenware ini bisa membukakan wawasan akan sebuah proses kimiawi yang terjadi dari mulai biji kopi mentah hingga masak. Earthenware terbuat  dari tanah liat yang dibuat di Jepang dengan ukuran panjang sekitar 25 cm dan lebar 15 cm tentunya cukup ringan saat dioperasikan. Sebagaimana biasa, alat sederhana ini dibuat dengan kualitas prima berbentuk lingkaran dan sebuah pegangan yang dibalut oleh rotan untuk kenyamanan saat mengoperasikannya. Pegangannya berbentuk rongga berfungsi untuk mengeluarkan kopi yang sudah selesai di roasting karena  terhubung dengan bagian lingkaran tempat biji kopi berada. Permukaan yang halus dengan warna merah bata dijual oleh Philocoffe seharga 430 ribu.

Kapasitasnya yang hanya 50 gram memang relatif sedikit karena Anda hanya bisa membuat empat cangkir kopi bila menggunakan takanan 10 gram kopi dan air secukupnya (150ml). Hideo memperagakan cara menggunakan alat ini di atas kompos gas yang diawali dengan menghangatkannya sebelum biji kopi dimasukan. Kira-kira kurang dari 10 menit, Earthenware sudah mulai meningkat suhunya dan kami mencoba biji kopi varian arabika dari Finca Santa Isabel, El Salvador,  dengan ketinggian 1300-1400 meter diatas permukaan laut.

Roasting dimulai dengan suhu sedang dan Earthenware yang sudah berisi kopi mulai diputar secara ritmik agar distribusi panas merata. Tentu saja pengaturan suhu panas hanya tergantung pada besar-kecilnya api selain jarak alat ini ke tungku. Kami menempatkan Earthenware dalam jarak kira-kira 5 cm dari atas permukaan api agar kopi tidak terlalu terkejut dengan panas yang berlebihan pada saat awalnya. Suhu terus ditingkatkan dan jelang pada menit ke sekian terjadi letupan kecil  atau crack (kami terlalu terpikat dengan proses roasting yang sedang terjadi hingga tak mencatat percobaan ini).

Lapisan kulit biji kopi atau chaft berterbangan tapi masih dalam taraf tidak mengganggu dan akhirnya  pada crack kedua kopi langsung dikeluarkan melalui ujung gagang Earthenware yang berongga. Sungguh suatu kebahagian melihat hasil roasting yang cukup merata walau beberapa biji kopi masih belum seragam warnanya. Sebuah kelemahan yang termaafkan dari sebuah alat roasting sederhana yang menurut saya hasilnya sudah cukup bagus dibandingkan dengan percobaan saya dengan menggunakan panci teflon.

Nah setelah kurang lebih 5 hari kemudian saya mencoba kopi El Salvador ini dan diseduh dengan french press. Kalau Philo menyebutnya dengan sebuah keberkahan, saya mengistilahkannya dengan makrifat kopi, sebuah fase sufistik  terpenting saat seseorang dengan penuh kesyukuran dan kekhusyu’an menikmati sensasi kopi El Salvador dengan rasa coklat manis yang membasahi rongga mulut lalu diakhiri dengan keinginan terpendam, “it’s actually not bad, let’s drink again …” 

Intinya, Earthenware sebuah alat sangrai kopi sederhana ini bisa menghasikan aroma dan rasa kopi yang drinkable dimana Anda tidak akan mengerenyitkan dahi karena meminum kopi dengan rasa yang datar. Memang diperlukan sedikit jam terbang untuk mengenali karakteristik sebuah alat seperti Earthenware seperti jarak dengan api, besar kecilnya sumber panas untuk pengaturan suhu yang pas, serta waktu yang tepat untuk mengakhiri roasting-nya. Selebihnya, alat ini bisa digunakan bagi siapa saja yang memiliki gairah untuk lebih jauh mengenal dasar roasting kopi karena Earthenware adalah salah satu pintu gerbang yang bisa dimasuki. (Tulisan ini pernah diulas oleh Philocoffee dengan judul Home Roasting Adalah Berkah)

*  *  *

Terima kasih kepada Hideo Gunawan, pemilik Earthenware yang saya gunakan untuk keperluan penulisan artikel ini.

Catatan : Tradisi organisasi Nahdlatul Ulama kaya dengan tassawuf, sebuah jalan untuk mendekatkan diri kepada Pencipta. Orang yang mengamalkan tassawuf disebut dengan “sufi” dan menariknya sejarah kopi atau dalam bahasa Arab-nya disebut qahwa tak bisa dilepaskan dari peranan para sufi yang mulai mempopulerkan kopi (al-bun) di sekitar abad ke-13. Para sufi yang mengkonsumsi kopi lalu menjalankan peribadatan entah mengapa lebih merasakan transcendence, sebuah transformasi keimanan yang lebih mendekatkan diri secara intens kepada Tuhan dan disebut sebagai qahwa al ma’nawiyah. (Terima kasih Philocoffee atas info-nya)

Semoga saja suatu saat cikopi.com akan dimasukan sebagai salah satu jam’iyah ahli thoriqoh al-mu’tabaroh An Nahdliyyah atau kumpulan organisasi tarekat terpercaya dalam organisasi NU ….. #colek Habib Petamburan tersayang 🙂

 

18 replies
  1. Agustian
    Agustian says:

    Pengen coba, tapi lumayan juga harga dan cape juga akhirnya.

    gimana Kang TW kalo ada relasi di daerah Plered ada yg bisa niron gitu, nanti dikordinir buat nambah2 koleksi alat perkopian bagi yg minat dan pasti ada yg minat dengan harga terjangkau (jualan gitu)

    atau pake KENDI dimodifikasi pake gagang hoe sepertinya gak jauh beda.
    namanya juga menghibur diri

  2. libri
    libri says:

    Memang seru kalo udah bahasannya roasting kopi, sama kayak sepupu saya yang rada aliran kiri kalau sudah ngurusin kopi. Terinspirasi dari Behmor, oven listrik kirin dia modif. Sekarang dandang steinless dia modif juga buat alat roasting, sampe Bapaknya jadi korban gak bisa melek 2 hari gara-gara disuruh bantu ngelas sampe tengah malam,hahaa. Rada bingung ngejelasin bentuk alatnya. Tapi foto nya bisa dilihat di link ini : http://www.delampoengcoffee.com/?p=268 Salam kenal Pak Toni..!!

  3. baraja
    baraja says:

    wah seru nih bahasan artikelnya pak, jadi pengen nyoba… awal dan alat yg bagus untuk memulai ngeroast.

  4. Yeni Setiawan
    Yeni Setiawan says:

    Kalau menggunakan earthenware, indikator yang bisa digunakan hanya suara second crack ya Pak Toni?

    Beberapa waktu yang lalu saya mencoba menggunakan kendhil dari tanah liat, namun agak bingung karena tidak bisa melongok untuk melihat perubahan warna saat roasting.

    Itu kendil ide kreatif 🙂
    Crack-nya kedengaran koq walau harus pasang kuping, apalagi yang pertama kadang suaranya agak samar

  5. hideo
    hideo says:

    @sivaraja : wah, indian monsooned malabar??saya ada juga tuh. bagus buat ngasih crema di espresso. kudu resting lama neh kopi, klo awal2 rasa “musty”nya kuat bgt. biasa ambil green darimana aja mas?

  6. Sivaraja
    Sivaraja says:

    @dimas iya kebetulan kemarin beli pas waktu di Australia

    kalo greenbean lumayan banyak yang jualan online sekarang

    @Toni Wahid silahkan, barangnya di Malang 🙂

    btw ada yang pernah nyobain negroast Indian Monsoon Malabar? saya ada greenbeannya tapi jumlah terbatas, rasanya nikmat sekali setelah 3 minggu

    Duuh, sangkain di Jakarta :), tapi makasih ya.

  7. zulfikar
    zulfikar says:

    ha ha ha, jd nostalgia ingat gorengan bedouin waktu jln2 ke kairo.
    Antik emang, hasil gorengan dijamin dah ….
    Dijamin pegel & byk gosong nya. 😀

    Kata Christian dari Froco, dengan roasting manual seperti ini kita lebih menghayati dan belajar kelemahan2nya. Jadi gak kaget pas pake mesin buatan mereka misalnya 😀

  8. HoneyFlower
    HoneyFlower says:

    Mantap liputannya Kang Toni, jadi pengen nyoba neh 🙂

    Selama ini saya baru coba pake popcorn roaster & wajan stainless.

    cheers

    Thx HoneyFlower, Popcorn malah belum coba.

  9. abudsky
    abudsky says:

    dimas : koko hideo jual tuh ,, Ups TANYA ORANGNYA LANGSUNG de

    – Para home roaster akan berbahagia pun

  10. dimas
    dimas says:

    @sivaraja: wah beli behmor dimana pak?

    saya sendiri baisa ngeroast pake popcorn maker, walopun hasil rasa dari roastingnya masih ga jelas haha

    oh iya sekiranya kalo mau beli green bean kiloan dimana ya pak (selain di sapan atau maharaja)? seperti coffee america yg digunakan disini

    – paging Hideo …

  11. hideo
    hideo says:

    alat yang bagus, simple sederhana. tantangan terbesarnya bukan di pegalnya, tapi di panasnya. apalagi saat first crack dimulai.

    Central American Coffee emang selalu bikin bahagia, manisnya itu loh…cihuy banget..

    – Ditunggu kiriman selanjutnya #ngarep

  12. rian_tegank
    rian_tegank says:

    racuuuunnn… ga punya uaangggg.. tapi peengeeennn… :((

    – Ya udah minta kasbon sama Philocofee, baca dulu Al Fatihah supaya makbul 🙂

  13. Andy Kho
    Andy Kho says:

    kondisi Hideo waktu diliput:
    1. roasting pertama: gerah, sumuk, kemringet
    2. roasting kedua: gembrobyos, jibrug
    tapi dia masih nyengir sampai akhir kok.
    dan hasilnya dilihat visual emang bagus sih.. dibelah rata juga matengnya… tangan hideo jg sptnya mateng pegelnya haha…

    – Sebenarnya itu rahasia terpendam yang akhirnya diputuskan untuk membeli mesin 1 kg 😀

  14. Sivaraja
    Sivaraja says:

    Saya setuju sama Dimas, saya pertama kali roasting dengan popcorn maker,jauh lebih ngga cape menurut saya 🙂 dan hasilnya lebih rata, cuma kita ngga bisa kontrol yang namanya kenaikan temperatur, jadi masing2 memiliki kelebihan dan kekurangan. Saya sekarang menggunakan behmor (bisa di google) dan roaster kecil lokal kapasitasnya lebih besar dan variabelnya lebih bisa dikontrol

    Gimana kalau Behmor-nya dipinjem buat saya coba dan kita bagi pengalamannya di sini, hmmmm ? 🙂

  15. wallflowers
    wallflowers says:

    wihh…dapet aja nih om philo barang2 antik beginian.. hahaaa..keren..kerenn…

    Kebayang kalau cafe di Kediri harus goreng kopi dengan Earthenware, otot bicep langsung menggelembung 😀

  16. dimas
    dimas says:

    menarik pak? tp 20 menit muter2in apa gak capek pak? haha

    pernah nyoba roasting dgn popcorn maker pak? mungkin bisa sekali-sekali dicoba dan dibandingkan dengan metode home roasting ini dan yang lainnya 😀

    Bukan goyang nikmat, tapi pegel 🙂
    Popcorn belum dapet alatnya.

  17. anto.giant
    anto.giant says:

    yaaa..
    di goreng.. di goreng.. di goreeeeeng..
    *menghindari ratjoen baroe*
    hehehe…

    Emang racun kopi tak pernah berhenti yaa …

Comments are closed.