Arif Said membawa alat MojoToGo, sebuah refractometer yang digunakan untuk mengukur refractive index dan suhu dari sampel minuman kopi atau espresso. Jangan tanya saya mengenai apa itu refractive index, tapi intinya sebuah istilah ilmu fisika mengenai hukum kecepatan cahaya yang berbeda apabila melalui berbagai material padat maupun solid. Tambah bingung kan? Apa hubungan hukum kecepatan cahaya dengan kopi ?

Pada saat kita menyeduh kopi terdapat dua elemen penting yang terdapat dalam proses ini, pertama ekstraksi (extraction yield/rate), dan kedua strength. Ekstraksi adalah sebesar apa air yang kita seduh berhasil menarik (extract) material solid yang terdapat dalam kopi. Bila terdapat istilah under extraction artinya hanya sedikit soluble material yang berhasil  diseduh dan tentunya akan menghasilkan kopi “lemah syahwat”. Demikian pula sebaliknya, bila air terlalu bersemangat menarik zat padat dari kopi akan menghasilkan rasa kopi yang terlalu “perkasa” untuk bisa dinikmati dengan baik dan benar. Angka keramat dari SCAA (Specialty Coffee Association of America) adalah 18 hingga 22%.

Komponen kedua adalah strength, sebuah persentase dari materi atau zat terlarut (TDS = Total Dissolved Solid) yang menurut SCAA idealnya berkisar antara 1.15 hingga 1.35%.  Inilah angka berapa banyak kopi berbanding jumlah air, sebuah range yang sangat sempit  dan hanya bisa diukur dengan menggunakan alat TDS meter. Sebagai catatan SCAE atau organisasi kopi spesial di di Eropa punya angka yang sedikit lebih tinggi yakni karena mereka suka dengan kopi yang lebih pekat yakni 1.20 hingga 1.45%.

Oh ya, garis diagonal berwarna merah pada tabel SCAA di atas adalah rasio kopi dan air.

Untuk mencapai kordinat 18-22% v.s. 1.15-1.35% di sinilah peran MojoToGo sebagai sebuah GPS yang akan memandu penyeduh kopi agar menghasilkan kopi dengan flavor yang setidaknya bisa diterima oleh banyak orang. Begitu teorinya, dan malam tadi kami mencoba alat yang dibawa Arif Said dengan keingintahuan apakah kopi yang diminum sudah sesuai atau belum berdasarkan “petunjuk” dari SCAA.

Menggunakan alat ini dimulai dengan mengambil sampel sebanyak 4-5 ml kopi melalui pipet, dinginkan sebentar dan letakan di celah hitam (refractometer well) pada alat MojoToGo. Biarkan hingga setengah menit lalu tekan tombol “Read”, dan MojoToGo akan menampilkan sebaris angka yang terdiri dari lima digit  yang merupakan refractive index berikut temperaturnya. Angka refractive index an suhu dari sampel kopi yang dihasilkan dari MojoToGo ini kemudian dimasukan ke dalam aplikasinya yang bisa dibaca dalam iPhone untuk mengetahui extraction yield dan strength (TDS).

Sayang ya alatnya mahal, padahal menarik untuk melihat kedua elemen extraction dan strength tadi pada setiap medote seduh kopi dari syphon, moka pot, Vietnam drip, hingga mesin espresso.

Mencoba MojoToGo hanya satu dari sebagian obrolan menarik malam itu, selain roasting kopi dan bagaimana cara menyebarkan pengetahuan mengenai specialty coffee kepada khalayak ramai. Seperti biasa, seru !.

* * * *

27 replies
  1. karya elly
    karya elly says:

    @ pak Adi,

    setlh membaca lbh seksama ternyata pak Adi adalah Q-Grader.
    ngomong2 kalo blh kenalan pak, silahkan hub by email ; karya_elly@yahoo.com

    sy ingin mengenal lbh mendalam soal kopi.

    terima kasih.

  2. karya elly
    karya elly says:

    @ all
    especially @ pak Adi,

    boleh tau itu q-grader kerjanya apakah cuma nge-test kopi doang? dan digaji utk itu? kalo iya, boleh kenalin dong siapa ya?

    dan kayaknya ada 2 pendpt berbeda diatas ini, semua kayaknya ada benarnya, krn namanya rasa itu feeling masing2, alat perasa setiap org berbeda, tapi manusia berusaha membuat standarnya melalui alat kayak kadar pH, dll.

    btw, sy tertarik pd kedua duanya, buat menambah wawasan aja, krn jujur aja saya ini pemula lho… gak gitu ngerti yg berat2 kayak diatas ini, bingung juga.

    dan lbh enak lagi kalo dpt kenalan dgn q-grader, pasti pengalaman mrk unik-unik dan selalu dpt kopi gratis yah…. hehehe

    kalo mau lbh private silahkan ke email saya : karya_elly@yahoo.com

    just for frienship

    oh ya, walau nama saya dibelakang elly, namun saya laki-laki tulen. byk org mengira saya cewek, hehehe

    salam ngopi selalu ya semuanya

  3. Endang
    Endang says:

    Ngotot dan debat dengan diskusi kan beda, kalo ketemuan sambil ngopi2 dan sambil diskusi soal kopi, apa salahnya. Nah supaya suasananya jangan menjurus ke debat atau ngotot2an, pilihlah tempat yang netral yaitu warung kopi biasa, yang nggak pake alat2 canggih tapi kopinya terkenal enak, kan banyak tuh, dan jangan lupa …..ajak saya (yang terakhir ini just a joke tentunya)

  4. Lulu
    Lulu says:

    Sepakat, disitu serunya ngopi bareng. Obrolan yang menarik dan ilmu yang dibagi, seharusnya membawa lidah dan pemahaman kita menjadi lebih cerdas 🙂

    @Pak Aldi : I’m sure that Pak Budi’s half-joking statement hasn’t cause an uproar or “set the forest on fire” as he mentioned before. I suppose you could tell him that a nice discussion over a couple cup of nice coffee would be great though 🙂

  5. Enrico
    Enrico says:

    Sebagai kolega dari Kang Adi I vouch for him. Kalo ketemu, dijamin bukan untuk ngotot2an tapi untuk ngobrol dan ngopi sampe teler, hehehehe…

  6. Adi W. Taroepratjeka
    Adi W. Taroepratjeka says:

    Halo Pak Aldi, sampaikan salam saya ke Pak Budi ya 🙂

    kembali soal Q-Grader, mereka dilatih untuk TIDAK mengatur proporsi ekstraksi pak. Mereka diminta untuk mengikuti protokol (10gr kopi, ditimbang dalam bentuk biji dan 200 ml air)yang sudah ditetapkan, Tujuannya kembali untuk standarisasi pembacaaan. Perubahan proporsi dijamin akan merubah rasa, tapi kalau udah gitu kan susah untuk membandingkan dengan yang lainnya.

    Yang jadi pegangan Q-Grader adalah Coffee Cupper’s Handbook-nya Ted Lingle, SCAAA’s Brewing Handbook adalah referensi yang disarankan untuk dibaca, tetapi bukan pegangan.

    please keep in mind bahwa latar belakang Q-Grader itu bermacam-macam, tidak hanya seorang barista/roaster/retailer, tetapi juga seorang eksportir, wakil koperasi, peneliti atau bahkan seorang guru pilates. Bagi non retailer/barista/roaster, brewing tidak terlalu penting karena memang bidang pekerjaan mereka sehari-hari tidak bersinggungan dengan hal tersebut. Disinilah protokol brewing tersebut sangat diperlukan (dan gak boleh dirubah-rubah). Agar pembacaan dari orang2 dengan latar belakang pekerjaan berbeda bisa mengerti arti dari nilai akhir, tanpa harus bertanya ini menyeduhnya bagaimana.

    Kenapa saya ngekeuh soal Q-Grader ini? karena saya adalah salah satu dari mereka, dan berkesempatan menjadi asisten pas training terakhir tahun lalu di Medan. hehehehe, jadi bukan tebak-tebakan 🙂

    Pak Aldi, tolong sampaikan ke Pak Budi, ajakan saya kembali untuk ngopi bareng dimana. Gak untuk ngotot2an apalagi adu pinter, karena bagaimanapun buat saya setiap orang punya hak untuk berpendapat. Udah ketuaan untuk perang heheheh Lagian buat saya kopi itu terlalu indah dan menyenangkan, gak asik kalau sampai ada sakit hati/marah-marahan.

    saya bisa dihubungi via e-mail, atau kalau tidak Kang Toni punya no HP saya kok 🙂

  7. aldi
    aldi says:

    @adi. Pak Adi, saya tmn pak Budi, jadi saya cuma penyambung lidah saja.
    kyknya pak Budi enggan komentar byk di sini. Tapi kmrn stlh saya desak trs blh/tdk saya forward emailnya ke sini, akhir saya dpt anggukan. Jd di bawah ini kutipan emailnya.

    Why I mention a Q-grader? Hmm, why is it? :-D. OK, let’s try this:
    – For all its’s hype Mojotogo is just digitalized version of the SCAA chart.
    – the ‘official’ SCAA chart is inside the SCAA Brewing Handbook.
    – SCAA Brewing Handbook is part of Q-grader training/evaluation material.
    – So a GOOD Q-grader should understand how to INTERPRETING & ADJUST the result of his/her brew.
    – that’s why he/she could help, I guess 🙂
    My analogy is SCAA chart is like a ‘printed map’ ; Mojotogo is a ‘GPS’.
    They tell the same thing but in different media.
    The concern is, if someone don’t understand how to read the map/GPS, the chance of getting-lost is still high.
    BTW in Jakarta, some Q-grader’s I met are more knowledgeable about the coffee prep.

    Yes, I know the Mojotogo is mostly used by cafe-owner.
    Last year, I saw one of SF 3rd wave cafe training manual,
    they only use Mojotogo once a week to calibrate their coffee PREPARATION method.
    The taste of course defined by the coffee, Mojotogo do help on preparation consistency.
    Some description from that manual are contradict or missing from that blog.
    I think that’s why I make my comment there 🙂

    But I think my give statement in half joking, don’t know why it cause an uproar.
    Maybe I just comment when their in the wrong mood 🙂
    But anyway, that’s a thing of the past.
    Now I’m moving to new project and back to my ‘old’ but predictable & reliable coffee-forum’s 🙂

    As Bobby McFerrin songs “Don’t worry be happy”

  8. Enrico
    Enrico says:

    Saya sih pengen nyoba mesin yang PID’ed, penasaran cuma liat di foto, gimana aslinya heheheee….

  9. Adi W. Taroepratjeka
    Adi W. Taroepratjeka says:

    Bapak-bapak… gatel nih istilah Q-Grader disebut beberapa kali…

    Q-Grader tuh bukan dewa pak. Mereka dilatih untuk memilah dan menilai rasa secara kuantitatif (dalam bentukan angka – semoga gak sok pintar pake bahasa canggih dan salah pake akhirnya hehehe) untuk sebuah sample kopi, bukan seorang juri/hakim yang menentukan kopi itu enak atau nggak.

    Dalam prakteknya, kopi yang akan dinilai akan ditimbang terlebih dahulu, lalu diseduh dengan jumlah air yg ditentukan (idealnya karakter air yg dipergunakan pun diatur), dengan protokol yang harus diikuti. Tujuannya satu, untuk membuat kondisi percobaan/pengecapan seadil mungkin, dimanapun proses pengecapan tersebut dilakukan.

    Fungsi laporan tersebut adalah agar buyer/roaster bisa mengetahui kondisi sebenar dari kopi tersebut dari pihak ke 3 yang tidak memiliki kepentingan terhadap kopi tersebut, dan angka/nilai dapat diverifikasi dengan melakukan percobaan/pengecapan dengan menggunakan protokol yang sama.

    Jadi Q-Grader dilatih untuk mengecap dalam sebuah kondisi yang dianggap ideal. Pengecapan/pembacaan karakter itu bisa bubar kala kondisi larutan tidak dalam bentukan sebagaimana yang disyaratkan dalam protokol.

    Dengan kata lain, seorang Q-Grader bisa melakukan tugasnya dengan baik, pada parameter tertentu dan kala mengisi lembar laporan cupping, namun pada kondisi lain, preferensi pribadi Q-Grader tersebut yang akan keluar. Pada level preferensi, Q-Grader akan menilai berdasarkan kesukaannya, dan pada level itu, penilaiannya akan sama dengan penikmat kopi lainnya. Hanya berdasarkan suka atau tidak.

    Panjang ya heheheheheh

    Contoh kasus begini;
    pada eksperimen seperti yg kang Toni tulis di mojotogo part II, saya memilih kopi sample C. Alasan saya adalah, pada titik itu kopi yang saya rasakan paling clean, balanced, karakternya muncul semua, cenderung manis diantara A dan B, walau dikategori body dalam score sheet akan saya nilai agak rendah. Walau cawerang (alias encer heheh), kopi C adalah kopi yang paling mudah dibaca, dan cenderung menarik. Apakah kopi tsb enak diminum? itu kasus lain…

    Jujur kaget ketika VST & Mojotogo memplotnya pada tabel gold cup SCAA/SCAE. dia begitu lemah, cawerang dan kasarnya menurut standar itu mah gak layak minum lah, tapi ya gimana, kami memang tidak dilatih untuk mengevaluasi sisi itu.

    IMHO Mojotogo itu berguna bagi mereka2 yg bergerak dibidang ritel kopi, untuk mencari bagaimana caranya mencari titik terendah/efisiensi penggunaan bubuk kopi/cangkir, nyetel apapun (gramasi, grinder, waktu ekstraksi) pada proses ekstraksi berbeda, atau mencoba mengikuti sebuah aturan yang diatur oleh sebuah lembaga regulator. Dengan alat ini, seorang pengusaha bisa menstadarisasi dan menjaga ekstraksi yang dihasilkan pada outlet atau outlet2nya agar para pelanggannya bisa mendapatkan kepuasan yang sama.

    Pihak lain yang bisa memanfaatkan alat ini dengan baik adalah pihak regulator, seperti halnya SCAI/SCAA/SCAE, guna mendorong terciptanya sebuah standar ngopi yang baik. Pengaplikasian standar tersebut bisa menimbulkan sebuah lapangan permainan (playing fields) yang adil sehingga pelanggan bisa dengan mudah memilah mana yang mereka suka atau tidak.

    Musti bongkar2 catetan lagi, tapi kalau tidak salah, tabel seduh ideal keluaran SCAA dan SCAE itu berbeda. Kenapa bisa berbeda? karena karakter yang dicari oleh penikmat kopi didaerah kedua badan regulator tersebut berbeda

    Pak Budi (semoga masih baca), asli pak pengen ketemuan buat ngobrolin kopi. Dunia gak rame kalau semua pikirannya sama, dan seringkali dari sebuah perbedaan, sebuah kebaikan bisa muncul. Hayu kapan n dimana pak, saya menunggu

  10. Endang
    Endang says:

    Pak Toni, saya ini orang yang sangat hirau akan “perkopian”. Membaca alinea terakhir dari postingan diatas, mengenai memasyarakatkan pengetahuan akan “specialty coffee”, saya sangat gembira sekaligus prihatin. Soale pak, boro2 deh tentang specialty coffee, lah wong itu banyak skali orang2 yang setiap hari ketemu kopi tapi masih ada yang nggak tahu ada robusta dan arabika, hal yang sangat mendasar, saya tuh sampe gemes banget. Monggo deh pak Toni mampir ke blog saya (Coffeetaria)dan mbaca pengalaman saya akan hal tersebut.
    Salam coffeelover.

  11. Enrico
    Enrico says:

    @pak drakula
    saya juga ga mudeng pak hehehe.. dari yang saya tangkep, intinya gini:

    Lihat tabel di atas. SCAA /asosiasi kopi spesial amerika bilang, ada “wilayah” tabel yang “pas” dalam hal “yang kita ‘tarik’ dari kopi”. Tarik solids/”padatan” terlalu banyak = cenderung pahit (bitter). Tarik padatan terlalu sedikit = asam/berasa rumput. Kalo “pas”, dapet manisnya kopi. Kalo liat standarnya si SCAA (ingat, ini selera bule Amerika), ngejar “tarikan” yang persentasenya 18-22%.

    Utk “kekuatan” (strength), mungkin cocok dengan analogi kang toni, bahwa kekuatan kopi tinggi itu “perkasa”, mungkin sampe bulu kuduk kita berdiri hehehe. Kalo yang “lemah gemulai”, kopinya buat anak kecil juga dia ga akan gemeter sama sekali. Carinya dalam satuan TDS angka 1.15-1.50 (liat tabel).

    Terus apakah kalo sampe “wilayah ideal” di atas, maka kopinya akan enak? Belum tentu juga 😀 Makanya jangan sampe salah penggunaan gadget ini… Lebih ke standarisasi aja mah. Bahkan bisa jadi alat utk tahu apakah grinder kita rusak atau ngga :p Dan malah katanya bisa utk bantu roaster.

    Utk yang ngupi2 di rumah? Yaaa kalo ada waktu 1-2 jam utk dipakai menghabisi stok kopi dan orang rumah pada tidur… nampaknya ngulik2 VST+mojotogo adalah hal menarik 😀

    Referensi :
    http://gizmodo.com/5642561/seeking-mojo-chasing-the-perfect-cup-of-coffee-through-science

    http://shotzombies.com/2010/08/16/using-mojotogo-to-maintain-equipment/

    http://shotzombies.com/2010/09/12/mojo-should-be-standard-for-every-roaster/

  12. Enrico
    Enrico says:

    @pak budi
    well, some topics just has greater web-views. Maybe the writing, maybe the topic itself, maybe the pictures, dunno, never held a survey on it 😀

    Dissenting voice? Sir, for me it’s not about “you singing song A while others sang song B in unison”.

    I thought I told you in the other topic, that our coffee culture varied so much that I think (and maybe some other people too) it’s not “right” to call one method “wrong” and other “the best”.

    In all the writings here, kang Toni always tried to highlight the pros and cons of the various coffee tools and gadgets. It’s not about saying one tool is better that the other. I think it’s about how do you use it, and how to get general public to know “oh, so this is specialty coffee??”.

    Remember, we amongst all the people around us?? Well there’s 90% chance that we’re the freakier ones when it comes to coffee. Dude, that other 90% of people rip apart instant coffee package EVERY TIME they think about drinking coffee, and frown upon us who spends more than 2 minutes brewing coffee, and jeer at the sight of a monstrous machine that is the espresso machine…

  13. budi
    budi says:

    Been following the pattern in this blog for quite some time.
    Usually after ‘a little nudge’ , will spark & make the topics grow.
    Just an example the Hario pour-over, it breeding to another 4 or 5 topics, if I’m not miss-count it.
    It become a topic of discussion for months, almost half a year. Coincidence? maybe.
    The bad example is the vietnam drip or syphon, it become an orphan within weeks.
    IMO vietnam drip / syphon should have at least another 2/3 topics.

    I guess this time it’s not a spark but I set forest fire this time LOL 🙂
    I thought that a ‘dissenting voice’ is OK as long as it stay on the topics.
    Guess what? I’m totally wrong.
    But if everyone happy with only a single voice, no problem with me.

    So I raise my last cup here, and got to move on
    Cheers, good luck & Happy New Year. 🙂

  14. Andy
    Andy says:

    Sahabat pencinta kopi. Hal serupa pernah saya tanyakan tentang tingkat kehalusan hasil penggilingan biji kopi. Memadukan antara tingkat kualitatif dg kuantitatif. Yang dikatakan halus kalau diukur dg alat berapa mesh. Dalam hal ini yang dikatakan enak itu berapa nilai ekstraksi (extraction yield/rate) dan berapa nilai TDS (Total Dissolved Solid)nya. Sehingga bila dg angka konsistensi akan terjaga. Meskipun ini tidak mudah, karena alatnya mahal. Biasanya kalau sudah ditemukan nilai kuntitatifnya dapat dikonversi dg ukuran yg applicable. Misalnya untuk mencpai nilai extraction 18-22% dg TDS 1.15-1.35 untuk jenis kopi tertentu itu dpdt diperoleh dari satu sendok makan dengan air panas ….. ml. Penggunaan sendok dan gelas ukur untuk mempermudah dalam praktek sehari-hari. Meski demikian untuk makanan dan minuman variabelnya sangat banyak antara lain, jenis kopi (arabica/robusta, asal kopi ditanam, cara dan kondisi roasting, termasuk konsumen (jenis kelamin, usia, dan lain sebagainya). Tapi tulisan mengenai penggunaan alat di atas adalah sebuah kemajuan untuk mendapatkan nilai standard yang bisa dipakai. Akan lebih menarik bila hasil alat dipadukan hasil Q-grader. Pasti bisa dibuat sebuah tulisan dan ulasan yang menarik. Yang jelas dan pasti ritual menyiapkan kopi itu mengasyikan dan MINUM KOPI itu NIKMAT. Salam

  15. prast
    prast says:

    mungkin ini yang namanya hasil kawin silang dunia eksak dengan dunia kuliner. saya masih bengong ngeliat n baru tau kalau ada alat macem gini (ndeso) 🙂

    tapi tetep lidah jadi juri finalnya ya om 🙂

  16. Enrico
    Enrico says:

    @pak budi
    yang dicoba itu kan fokusnya ke fungsionalitas alatnya pak. bukan cari tasting notes 😀 untuk memperkenalkan fungsi “coffee gadget” baru ini sesuai tulisan kang toni yaitu “menyebarkan pengetahuan mengenai specialty coffee kepada khalayak ramai”, menurut saya deskripsi Kang Toni sudah tepat.

  17. Enrico
    Enrico says:

    setelah melihat sendiri (bukan mencoba karena yang operator ya mas arief hehehe, yang laen mix antara bikin dan liatin wungkul :)) ), akhirnya mafhum juga kenapa kombinasi VST+MojoToGo bisa “disalah gunakan” :p harus dengan mindset yang “kita mengendalikan alat dan bukan “alat mengendalikan kita” LOL

  18. Adi W. Taroepratjeka
    Adi W. Taroepratjeka says:

    Pak Budi,
    Licensed Q-Grader gak bisa komen banyak soal ini karena apa yang dilihat dan dicari berbeda :)(Q-Grader gak berarti berlidah juara heheheh)

    Refracto ini IMHO berguna dari sisi pemilik kedai kopi untuk optimalisasi ekstraksi, dan bukan jaminan bahwa hasilnya pasti enak (ini mah tergantung kopinya hehehe).

    Gimanapun enak gak enak itu mah setelan masing2

  19. budi
    budi says:

    one word : “HUAWEI”
    “wHUAA” for the tools & photos. 🙂
    “Weeei” for the description. 🙁

    OMG , ask someone with Q-grader license, please. Maybe Mirayudha can help.

    – Kalau penjelasan cikopi.com terlalu “dangkal” buat Anda, karena memang saya tidak punya kualifikasi sebagai Q Grader koq.

  20. Lulu
    Lulu says:

    Wuih ketinggalan lagi ane 😀

    Memang “enak” itu ga bisa diukur tapi ada variabel yang attached pada “enak” dan bisa dijadikan patokan. Pengen main-main juga ama nih alat 🙂

    Gajah itu abu-abu, tapi benda abu-abu belum tentu gajah ;p

  21. Enrico
    Enrico says:

    Setuju… kayak “merek anu termasuk mobil, tapi mobil belum tentu merek anu”… Kalo ekstraksinya pada range tertentu biasanya enak, tapi belum tentu enak itu pasti karena di dalam range sekian sekian 😀

  22. Arief Said
    Arief Said says:

    Hayu atuh kang. Mumpung saya di Jakarta, pengangguran ini.

    Terima kasih kang Toni. Semoga industri kopi specialty di Indonesia makin berkembang.

    Satu hal yang perlu diingat dalam memainkan Refractometer dan grafik di atas. Rasa adalah yang paling penting. Karena refractometer tidak bisa mengukur “even extraction”. Jika rasa kopi itu enak, kemungkinan besar, extraksi dan strength nya akan dalam range yang disebut di atas.

Comments are closed.