San Francisco. Jam 5 pagi saat terserang jet lag dan harus terjaga sepanjang malam, melalui jendela hotel tempat saya menginap saya sudah melihat kesibukan di gerai Starbucks kawasan Embarcadero, San Francisco. Beberapa truk pengantar dari vendor mereka mulai berdatangan dan para pekerjanya wara wiri  mempersiapkan tokonya untuk menyambut pelanggan yang sebentar lagi berdatangan. Walau cuaca menggigit saat menjelang musim semi akibat kabut dari laut Atlantik, saya selalu menyempatkan mampir ke gerai untuk sarapan mereka sebelum berjalan kaki ke Folsom Street, tempat kantor pusat berada. “Hi how are you ? It’s a bit cold outside indeed” kata kasir, sedikit iba melihat orang Asia ini yang tak terbiasa dengan cuaca dingin di Bay Area. Tahu saya pendatang baru ia cuma menyarankan untuk selalu menyiapkan dua leyer pakaian saat berada di kota ini untuk mengantisipasi perubahan cuaca yang seringkali datang tiba-tiba.

Secangkir coffee of the day ukuran tall (8 oz/236 ml) berikut cinnamon roll seharga 2.25 dolar adalah pesanan yang biasanya jadi menu sarapan yang umumnya ditawarkan termasuk coffee shop selain Starbucks. Here’s your coffee and enjoy … katanya sambil tersenyum dan saya langsung mengambil tempat duduk di pojok melihat kesibukan kota San Francisco yang mulai menggeliat. Beberpa pengunjung merupakan langganan setia sehingga karyawan di sini tak canggung menyebut namanya dan hafal pesanan mereka.  “Hi Mark, hot caramel machiatto with extra sauce ?. Would you like to try our new pastry , perfectly match with brewed coffee ? Itu hanya sebagian kecil percakapan yang terdengar sambil menikmati sajian musik Latin yan mereka putar.  Ada pepatah Sunda yang cukup terkenal “Basa mah teu meuli” artinya tak perlu sepeserpun uang untuk melakukan koneksi positif  dan saya sedang menyaksikan sebuah tradisi layanan Starbucks di garda terdepan mereka, caf é gestalt.  

Jakarta. “Siapapun yang menjadi partner atau karyawan Starbucks dan dengan jabatan apapun harus melalui pelatihan selama tiga hari di ruangan ini” kata Virani Masayu Sriwijayanti, Learning & Development Manager PT Sari Coffee Indonesia, pemegang merek Starbucks di Indonesia. Didampingi oleh Mirza Luqman, Assistant Manager Learning & Development  saya diberi kehormatan untuk menengok dapur pelatihan mereka di lantai 7 Gedung BNI 1946, Jalan Jend. Sudirman, Jakarta. Sebuah area terlarang bagi siapapun, apalagi media yang belum satupun diberikan akses masuk ke tempat ini.

Support Center. Setiap hari Senin, saat 12 hingga 15 orang partner sebuah istilah bagi karyawan karena Starbucks yang baru direkrut akan memulai tiga hari pertamanya di ruangan pelatihan ini yang disebut dengan Support Center. Disebut Support karena keberadaan fasilitas ini diciptakan oleh Starbucks yang ingin selalu memberikan dukungan kepada para partner di tempat kerja mereka kelak. Sebuah paket pelatihan komprehensip yang didesain secara interaktif dalam sebuah ruangan sekitar 50 meter persegi yang merupakan replika gerai Starbucks lengkap dengan segala peralatan dan atributnya termasuk detail pada elemen interior dan pencahayaannya.

Virani dan Mirza secara terus menerus memfasilitasi metode “Train the Trainer”, misalnya Store Manager yang sudah tersertifikasi akan menjadi pelatih para partner baru, sekaligus sebagai bagian pengembangan karir bagi mereka. Setelah tiga hari menamatkan pendidikan di Support Center, para partner akan langsung diterjunkan ke gerai Starbucks namun mereka akan mengikuti pelatihan lanjutan (in store learning) selama satu bulan yang didampingi oleh buddy atau learning coach masing-masing.

Direktur pun wajib. Juga saat pertama partner memulai hari pertamanya di gerai Strabucks, mereka akan disambut oleh Store Manager yang memberikan penjelasan tentang detail pekerjaan hingga pernik kecil seperti lokasi toilet, tempat istirahat atau makan. Buat Starbucks, kesan pertama teramat penting agar setiap partner merasa nyaman dalam melakukan tugasnya sembari  memberikan dukungan penuh kepada mereka termasuk pengembangan karirnya.

Program pelatihan selama tiga hari dan di store wajib dijalani oleh setiap partner apapun jabatannya termasuk para petinggi mereka. Jadi jangan heran jika seorang partner dengan jabatan Direktur sekalipun harus bisa mengerjakan setiap tugas yang dilakukan di gerai Starbucks termasuk urusan menyapu termasuk harus mengenakan seragam yang telah ditentukan. Jadi jangan aneh bila partner yang mungkin jabatannya jauh lebih tinggi di kantor tetap harus menjadi bawahan sang Store Manager.

Mengapa demikian ? Menurut Virani, hampir semua posisi pekerjaan yang ada di Starbucks baik pemasaran atau pembelian akan selalu berhubungan dengan apa yang terjadi di gerainya. Akan jauh lebih mudah saat mereka melakukan tugas dan pekerjaannya masing-masing bila setiap staf sudah dibekali pengetahuan dan pemahaman suasana yang terjadi dalam setiap gerai Starbucks. Bahkan CEO Starbucks sekalipun tidak boleh meminta perlakukan istimewa saat mereka datang ke gerainya, semua diperlakukan sama sebagaimana pelanggan yang lain,  . . . dan harus membayar.

Hari-hari Pelatihan. Saya selalu teringat saat melakukan “ziarah kopi” di Temanggung dan disuguhi secangkir kopi robusta tanpa gula didampingi oleh irisan gula aren yang rasanya bagaikan sekeping “surga”.  Demikian juga saat peserta pelatihan di Starbucks meeka diperkenalkan seni food pairing atau pilihan snack yang berupa sweet maupun savory dengan kopi tanpa gula saat uji cita rasa kopi. Bagaikan sebuah tradisi, Starbucks selalu memperkenalkan genre kopi barunya dengan berbagai pilihan snacks yang akan membangun pengalaman menikmati minuman ini secara maksimal. Walau banyak peserta yang terkaget-kaget karena baru pertama kali mencicipi kopi tanpa gula, namun senin food pairing telah membuka wawasan mereka bahwa kopi memang selayaknya dinikmati dengan beragam gourmet food.

Tapi di hari pertama mereka akan dikenalkan dengan kultur Starbucks dalam sisi layanan pelanggan dan pemahaman apa dan bagaimana “Starbucks Experience”. Di hari kedua para peserta mulai mencicipi kopi dan bagaimana mengkomunikasikannya dengan pelanggan. Di penghujung pelatihan, barulah peserta dikenalkan dengan beragam makanan yang tersedia di Starbucks dan praktek melayani pelanggan di belakang bar.

Jangan disangka bahwa pelatihan di Support Center berlangsung dengan kaku karena semua materi sudah dirancang hingga selama tiga hari kegiatan ini berlangsung secara interatif melalui penyajian video, presentasi, dan praktek langsung dan tentu saja fun agar peserta tidak merasa bosan.

Mirza menggarisbawahi bahwa pelatihan di tempat mereka tidak bermaksud untuk melahirkan ahli kopi dalam arti harfiah, namun lebih kepada pengenalan kopi secara umun kepada para pelanggan. Tapi tidak menutup kemungkinan bagi partner yang benar-benar ingin memperdalam khazanah perkopian bisa meneruskan kepada jenjang lebih lanjut. Sebagai catatan Mirza Luqman adalah Licensed Q Grader, sebuah keahlian dalam pengujian cita rasa kopi yang bersertifikasi internasional.

Epilogue. Sementara urusan kantor sudah selesai, saya menelusuri Folsom Street untuk kembali ke hotel. Jam sudah menunjukan pukul 7 malam, dan beberapa toko sudah mulai menghentikan kegiatannya kecuali restoran dan cafe  yang kembali menggeliat. Saya masih mengingat perkataan kasir tentang cuaca dingin dan kadang sulit diprediksi di San Francisco, lebih dari sekedar sweet talking, tapi empati yang datang dari ketulusan hasil pelatihan spartan dari perusahaan ini. Semua orang bisa bica tentang kualitas, tapi detail yang akan membedakannya, hal kecil yang punya magnitude. Starbucks !

*  *  *

6 replies
  1. Josephine Imelda
    Josephine Imelda says:

    Pak Toni, I love this article so much. The way you described “Coffee” is so appealing.

  2. Erwin Gayo
    Erwin Gayo says:

    FBI nya dunia hitam, layak di sematkan untuk bung tw, starbuck sang pioner kopi modern siapapun tau itu, sedikit yang mengganjal dinurani saya dari dulu terhadap gerai kopi yang berlogo gadis berambut panjang ini. perihal edukasi kopi kepada masyarakat perkotaan dimana gerai gerai mereka berada, hanya terbatas pada kalangan tertentu alias kepada pelanggan tetap mereka yang dalam tanda kutip kaum ekspatriat, sah sah saja karna pelanggan adalah segalanya dan ceruk pasar yang digarap adalah kalangan tertentu ( the starbucks experience ) buku yang saya baca beberapa tahun lalu. lalu edukasi kopi itu sendiri kepada masyarakat midle low yang masih canggung dan awam, ketika memasuki gerai mereka saat berhadapan dengan barista yang menawarkan kopi dengan logat italiano yang sangat kental hmm… ?? hari ini ada poin penting yang saya dapat pertama : apakah mereka mulai membukakan tangan untuk bersama sama mengedukasikan kopi kepada tukang becak sekalipun? atau membukakan sedikit rahasia dapur mereka seperti bung tw dapatkan? kepada warung warung kopi yang mulai menjamur? atau mereka lagi wel kam wel kam nya membagikan ilmu kepada kita semua?. hanya bapak mirza lukman yang lebih tau, dan ini yang dibutuhkan para pecinta dan penikmat kopi di negeri, sekiranya sang pionir kopi ini melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan bung Tw dan bung Adi W. Taroepratjeka mencari sesuatu yang ingin mereka bagikan kepada masyarakat indonesia tentang kopi sampai sampai mereka beredar hingga kepedalam kebun saya di gayo sana, sungguh suatu yang gak bisa dinilai oleh apapun dan ahir kata selamat datang didunia hitam.

  3. Julian Dani
    Julian Dani says:

    lho saya pikir artikelnya bakalan liputan dari frisco sana..
    bay area.. identik dgn musik thrash metal tu pak TW,hehehehe… *OOT

Comments are closed.