Perjalanan menuju ke Pangalengan di Selatan kota Bandung bagusnya tidak terjebak kemacetan yang biasanya terjadi di sepanjang jalan Kopo. Tampak dalam rombongan “West Java Origin Tour” yang diselenggarakan oleh organisasi SCAI (Specialty Coffee Association of Indonesia)  antara lain : Rahmad Syakib dari IFC (International Finance Corporation), lembaga keuangan mikro dari bank Dunia, Coffee Toffie, Heri Setiadi dari Cafe La Tazza, Kasmito Maharaja Coffee, Direktur Eksekutif SCAI Ina Muwarni, Yunus dari Roswell dan tentu saja tuan rumah Michael Utama dari Morning Glory. Gedung dengan arsitektur modern berwarna perak adalah tujuan pertama kami, pusat pengolahan kopi yang dimiliki oleh Morning Glory di desa Cibiana, tepat di pinggir jalan raya Pangalengan hari Sabtu kemarin.

Sehari sebelumnya kami dijamu oleh Kopi Aroma dan mendengar pemaparan Widya Pratama tentang filosofi bisnisnya serta melihat fasilitas roasting dan gudang kopinya. Pada hari yang sama, rombongan langsung meluncur ke Morning Glory Cafe yang beralamat di Setrasari Mall Kav C2/31, Bandung  dan bertemu dua orang pemiliknya Nathnael Charis (Nael) dan Michael. Keduanya berteman sudah sejak lama dan mantan fotografer pernikahan yang akhirnya nyemplung di bisnis kopi.

Nathanel Charis
Sedikit latar belakang tentang Nael yang dulunya boro-boro bisa minum kopi, tapi sejak mendapatkan “hidayah” untuk bisa menikmati kopi super nikmat di Amerika yang ternyata kopi Indonesia, matanya baru terbuka. Ia heran kenapa koq kopi Indonesia terasa lebih ajib di negeri orang di banding negeri sendiri. Sebuah keingintahuan seakan menggelitik dan menggodanya untuk mencoba mencari tahu dengan mendatangi perkebunan kopi yang paling dekat dengan tempat tinggalnya di Bandung, yakni di Pangalengan. Maka di  tahun 2004 ia mulai melakukan “silaturahmi” pertama yang ia lakukan dengan tetua adat di salah satu desa di sana yang sayangnya harus bertepuk sebelah tangan. Sang tuan rumah enggan melayani orang kota yang masih setia menunggu di teras rumahnya

Ekspor kopi ke Australia
Bukannnya kapok, tapi ia terus mencari tahu dan semakin intens mendatangi perkebunan di kawasan Pangalengan yang berada di ketinggian 900 meter lebih ini. Hingga akhirnya mendapatkan kesempatan untuk belajar memasak kopi di Australia di tahun 2007 lalu membuka Morning Glory sebuah cafe dan fasilitas roasting di tahun 2008. Di tahun 2010 Morning Glory menorehkan sejarah saat berhasil melakukan ekspor perdana ke Australia sebanyak 20 ton. Selain berkecimpung di pengolahan biji kopi, kini Morning Glory melengkapi fasilitasnya dengan sekolah barista berikut distributor mesin espresso La Marzocco, hulu hingga hilir.

Petani Kopi Pangalengan & Morning Glory
Berdiri di atas lahan 5000 meter, mungkin inilah fasilitas pengolahan kopi yang pertama dan terbesar di Pangalengan dengan proses pembangunan yang hampir rampung. Tak lama lagi menurut Michael, tempat ini akan segera beroperasi melakukan proses dari kopi gabah, yakni biji kopi yang sudah di kupas dan dikeringkan, namun masih terdapat lapisan kulit luarnya atau parchment (endocarp).

Apa alasan mereka hanya mau menerima kopi gabah ? Menurut Michael, ini adalah salah satu cara membantu petani kopi menaikan harga jual produk mereka karena bisa saja mereka menerima gelondong merah yang harganya jauh lebih murah. Dengan cara ini petani kopi diharuskan melakukan proses pengupasan (pulper), fermentasi (jika ada), lalu pengeringan sebelum bisa diolah di fasilitas Morning Glory yang hanya akan melakukan proses huller, sortasi, dan gudang penyimpanan beras kopi (green bean).

 

Gairah petani kopi di Pangalengan
Dalam diskusi dengan para petani binaan Morning Glory mengemuka beberapa tantangan dan peluang yang mereka hadapi selama ini. Penanaman kopi kembali bergairah terutama sejak tiga tahun yang lalu dengan ramainya pasar kopi arabika. Petani yang smeula banyak bertanam sayur, mulai kembali menyemai bibit kopi di lahan Perhutani dengan sistem bagi hasil dimana sebanyak 15% hasilnya akan menjadi milik lembaga pemerintah ini.

Dengan luas lahan mencapai empat ribu hektar lebih kawasan Pangalengan menyimpan potensi terpendam dan menjadi daya tarik eksportir dan para pengumpul kopi. Perang harga dan kompetisi tak sehat seringkali terjadi, tapi bagusnya petani kopi di sini menjadi pihak yang diuntungkan. Tapi tidak selalu manis ceritanya karena seringkali usaha mereka terseok jauh sebelum panen terjadi. Seorang petani menjelaskan jika masalah ijon sudah lumrah terjadi manakala kebutuhan mendasar petani seperti biaya perawatan kebun kopi seperti pupuk dan pestisida harus segera dipenuhi. Belum lagi dua momok yang seringkali menjadi penyebab utama mereka berhutang, biaya pendidikan dan kesehatan, dua hal yang seringkali menggerus pendapatan petani yang belum tiba.

Matematika petani kopi
Saat ini harga kopi gelondong merah berkisar 6 hingga 7 ribu rupiah per kilogramnya dan dari satu hektar petani bisa memperoleh panen sebanyak satu ton. Dengan demikian sekali panen, pemilik lahan satu hektar minimal bisa memperoleh pendapatan sekitar 6 juta dan bila setahun terjadi dua kali panen (Mei dan Oktober)  maka mereka bisa mendapatkan 12 juta.

Tapi ini pendapat kotor karena biaya perawatan bisa menghabiskan 30 hingga 40% hasil panen mereka. Kira-kira itulah ilustrasi penghasilan para petani kopi di sini bila mereka hanya menjual gelondong merah. Di sinilah peran Morning Glory yang saat ini melakukan pembinaan terhadap kelompok tani di Pangalengan dengan mendorong mereka untuk menjual kopi gabah dibanding gelondong merah yang bisa mencapai harga 12 ribu perkilogram nya.

Ina Muwarni dari SCAI memberikan salah satu solusi pembiayaan khusus untuk petani kopi yang saat ini sudah bisa dimanfaatkan oleh petani. Mekanisasi pertanian adalah salah satu tujuan micro finance untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas para petani seperti yang baru-baru ini dikembangkan oleh beberapa bank dalam negeri.

 

Pusat Pengembangan Kopi Arabika, Kubang Sari Pangalengan
Acara terakhir adalah mengunjungi lahan perkebunan kopi arabika di Kubang Sari, berjarak hampir 10 km dari lokasi Morning Glory. Bersebelahan dengan perkebunan teh, di kawasan ini dikembangkan penanaman kopi arabika yang ditanam di atas lahan milik Perhutani.

Dengan jalan berkelok walau medan yang tak terlalu berat, tapi tetap saja membuat mobil yang saya tumpangi terperosok ke dalam selokan dan menutup jalan bagi mobil arah yang berlawanan. Berkat bantuan dari penduduk sekitar, mobil yang malang akibat supir “pintar” ini bisa diangkat walau harus mengganti ban yang robek.  “Musibah” lain,  walau ini acara yang berkaitan dengan kopi, tapi  seharian kami semua puasa minum kafein karena memang tidak tersedia kopi yang bisa diseduh, kecuali beras kopi 🙁

Demikianlah sekilas hasil piknik ke Bandung dan Pangalengan, sebuah acara yang diadakan oleh SCAI akhir pekan tadi.

* * * *

 

17 replies
  1. ugy
    ugy says:

    keren u ulasannya
    keren u scai
    keren u morning glori
    keren u cikopi
    bravoo u kopi indonesia

  2. fero
    fero says:

    om boleh minta salah satu CP nya morning glory coffee dong…..

    Di atas ada nomornya, coba hungi saja Nathanel Charis

  3. wawan ramadhan
    wawan ramadhan says:

    Oh iya pak maaf sekali lagi mau tanya apa pelatihan untuk petani kopi di pngalengan msh berjalan? Saya sangat merasa terhormat sebagai petani muda dan pemula dan petani kopi kubangsari lain nya untuk bisa lebih berkembang bersama morning glory. Terimakasih, maaf kalo ada kata-kata yg salah atau kurang berkenan di hadapan bapak-bapak ini

  4. wawan ramadhan
    wawan ramadhan says:

    Terimakasih kepada bapak2 yg terhormat yg tlah mmberikan semangat dan doa untuk para petani kopi di seluruh dunia khusus nya indonesia 😀 Kebetulan sekali saya salah satu petani kopi di kubangsari pangalengan, alhamdulilah saya mengolah kebun saya dengan management yg lumayan bgus, tp hanya mengandalkan feeling terhadap alam dan tumbuhan, trimakasih cikopi

  5. afnil
    afnil says:

    Setuju pendapat Philocoffe project, pengalaman saya dlm agro, ada yg seharusnya di kerjakan petani ada yg lebih bagus dikerjakan prosesor (skala lebih efisien, kualitas lebih bagus (karena alat))Apalagi Kopi, komoditi yg perlu penanganan khusus, mulai dari panen s/d beras.
    Seharusnya,dgn adanya perushaan spt Morning Glori, dpt menaikan harga glodongan (tnp harus mengikuti harga glodongan daerah lain ).
    Kenapa bisa?
    1.Morning glori telah memangkas supply chain s/d green bean.
    2.Efisiensi alat (klu benar2 alatnya efisien.
    3.Kualitas pengolahan lebih bisa diandalkan( sebagai prosesor) bukan pengumpul produk akhir.
    4.Krn kualitasnya dijamin, sebagai penjual kopi GB tentunya lebih dihargai oleh buyer/user DN atau LN,bisa berbeda dgn pelaku GB lainnya.

    Pernyataan :
    “Apa alasan mereka hanya mau menerima kopi gabah ? Menurut Michael, ini adalah salah satu cara membantu petani kopi menaikan harga jual produk mereka karena bisa saja mereka menerima gelondong merah yang harganya jauh lebih murah. Dengan cara ini petani kopi diharuskan melakukan proses pengupasan (pulper), fermentasi (jika ada), lalu pengeringan sebelum bisa diolah di fasilitas Morning Glory”
    Apa betul gitu Pak(keliatan idealis)?Apa bukan krn biaya pengeringan dgn mesin mahal dan ngak punya pengeringan, yg biaya pengeringannya sama dgn dijemur?Sedangkan di petani dijemur,apalagi gelondongan KA nya tinggi, tentu biaya pengeringan tinggi.

  6. Java Raung Coffee
    Java Raung Coffee says:

    Salam Secangkir kopi…Jika petani kopi mengolah sendiri hasil panen dari kebun mereka dan menjualnya dalam bentuk Gabah sudah pasti ada nilai tambah dari pada menjual Gelondong basah apalagi bisa menjual dalam bentuk Green Beans dengan penggolongan mutu yg harganya lebih menjanjikan..Tahun ini petani kopi di daerah kami menjual kopi gelondong 5-6rb,,Green beans(dry process/asalan)17-20rb,,Gabah(wet process) 38-40rb…

  7. Endang
    Endang says:

    Pak Toni, saya kok merasa tulisan ini sepertinya kontradiksi dengan tulisan pak Toni edisi 24 Mei berjudul “Keadilan untuk siapa”. Mengapa begitu ?

    Kotradiksi di mana ? Tulisan terdahulu adalah kritikan terhadap sistem sertifikasi untuk mendapatkan label seperti Rainforest Alliance, dsb. Tulisan ini tidak ada hubungannya dengan sertifikasi, hanya laporan kunjungan ke kebun kopi.

  8. erwin gayo
    erwin gayo says:

    cepat,tepat dan akurat ! tiga kata untuk bung toni.semoga kunjungan ke daerah ane (bener meriah ) bulan september nanti bisa bareng lagi tks to team SCAI , morning glory, and sohib sohib coffee lovers from Warung kopi gayo bandoeng.

  9. Ferdee Sugiono
    Ferdee Sugiono says:

    Wuah, Syaikh Toni nih ada2 aja.. kasian yah mereka kalo sampe jadi bondage worker..
    hehehehehehe..

    BTW, yuk, aku juga mau daftar SCAI nih, ada yang bisa bantu?

    – Inli link-nya SCAI, tinggal hubungi aja mereka, individu juga boleh koq jadi anggota.

  10. Lidya
    Lidya says:

    wah, kapan nih diadain lagi “single origin tour”nya mau donk ikutan. pasti seru banget :)mohon infonya Pak Toni ya 😀

  11. Lulu
    Lulu says:

    Wah mau dong ikutan. Daftar SCAI dulu deh hehehe 🙂

    Artikel ini sedikit banyak membuka tabir agribisnis kopi. Walaupun negara kita adalah negara agraria, ironisnya sektor agraria ini rendah perhatian. Terutama perhatian terhadap petani.

    Khusus kopi, saya pernah lihat dokumenter tentang agribisnis kopi di afrika dan membaca hasil penelitian dari amerika tengah/selatan. Permasalahan yang dihadapi ternyata kurang lebih sama. Antara lain, beban yang ditanggung petani tidak seimbang dengan keuntungan yang didapat. Ini terjadi hampir pada semua petani dengan luas lahan dibawah 1 hektar, mereka bukan lagi farmer melainkan peasant.

    Tantangan yang banyak ini akan membuat pertanian kita semakin kuat jika kita bisa mengatasinya dan kita pasti bisa mengatasinya jika semua stake holder mau ikut serta 🙂

    Maju terus pertanian Indonesia!

    – Hayuk atuh rame2 kita masuk jadi anggota SCAI … farmer, peasant, terakhir bondage worker karena terlilit hutang …

  12. Philocoffee Project
    Philocoffee Project says:

    Ralat:
    tertulis

    “Kadang jika kelelahan, bisa-bisa overfermented karena TELAH menyudahi proses fermentasi”

    seharusnya

    “Kadang jika kelelahan, bisa-bisa overfermented karena LELAH menyudahi proses fermentasi”

  13. Philocoffee Project
    Philocoffee Project says:

    “Tapi ini pendapat kotor karena biaya perawatan bisa menghabiskan 30 hingga 40% hasil panen mereka. Kira-kira itulah ilustrasi penghasilan para petani kopi di sini bila mereka hanya menjual gelondong merah. Di sinilah peran Morning Glory yang saat ini melakukan pembinaan terhadap kelompok tani di Pangalengan dengan mendorong mereka untuk menjual kopi gabah dibanding gelondong merah yang bisa mencapai harga 12 ribu perkilogram nya.”

    Nah, pertanyaan kami: apakah biaya yang dikeluarkan dalam proses pengupasan atau pulping dan pengeringan juga memberikan beban tambahan kepada petani? Nah, apakah itu sebanding?

    Belum lagi jika kopi yang dihasilkan itu hendak diproses basah dan pulp natural, selain membengkakkan biaya juga menambah jam kerja petani secara kontinu juga. Kadang jika kelelahan, bisa-bisa overfermented karena telah menyudahi proses fermentasi 😀

    Jangan-jangan, menjual kopi gelondong dengan kopi gabah itu tidak begitu signifikan marjinnya. Nah, adakah matematikanya yang bisa dibagi, Syaikh?

    Kalo kemarin puasa kopi, lain kali bawa alat sangrai dan grinder portabel Syaikh hehehe

    – Dari hasil Temu Lapang Kopi kemarin, ICRI selalu menganjurkan agar sebisa mungkin petani menjual minimal kopi gabah. Para petani mengatakan hasilnya memang cukup signifikan walau di Pangalengan mereka masih ada keterbatasan alat seperti pulper. Salah satu petani di Bondowoso mengatakan kepada saya, mereka bisa menjual hingga 17 ribu per kilogram dibanding gelondong merah yang dihargai jauh lebih murah, 5-6 ribuan. Jalannya masing panjang, perlu dukungan dari berbagai pihak seperti kata Kang Lulu. Tidak selalu mudah mengubah comfort zone petani apalagi saat terdesak kebutuhan mendadak.

Comments are closed.