Pembicara di seberang sana melalui sambungan telepon belum pernah saya jumpai pun belum mengenalnya dengan baik. Tapi dialog  harus terjadi secara natural dan mengalir walau kadang mereka juga grogi saat di telepon. Itu hanya secuplik pengalaman melakukan podcast yang sudah saya mulai sejak akhir bulan April 2019. Kini episodenya sudah mencapai lebih dari seratus dengan beragam topik dan kiranya inilah saat yang tepat bagi saya untuk mengupas platform literasi kopi melalui media audio.

Mengapa harus Podcast ? Secara sederhana podcast yang saya luncurkan merupakan platform tambahan selain menyajikan informasi yang sudah ada di situs ini. Sebagai media tambahan dalam bentuk audio tak berarti hanya sebagai sebuah gincu semata. Sejak awal pembuatan blog ini semuanya harus dibuat semaksimal mungkin juga demikian dengan Podcast.

Tapi masalahnya saya tak punya pengalaman apapun dibidang penyiaran dan pengaturan audio. Podcast adalah genre media yang sama sekali berbeda dengan media tulis. Ada unsur spontanitas, emosi, dan hal-hal yang bisa dirasakan langsung pada saat terjadinya pertukaran dialog yang tak ditemukan dalam narasi tulisan.

Tapi dengan sedikit kenekatan dan proses perbaikan yang akan dilakukan seiring waktu saya mulai memberanikan diri merilis podcast saya yang pertama dengan Willy dari ABCD School of Coffee. Episode ke-2 bersama Mikael Jasin yang baru saja pulang dari Boston dan meraih pencapaian tertinggi dalam sejarah kejuaraan Barista, posisi ke-4. Tapi cukup lega karena sambutan lumayan positif dengan indikasi begitu banyaknya pendengar dari statistik yang setiap hari saya dapatkan dari penyedia layanan podcast ini.

Episode demi episode. Semua dilakukan secara simultan bahkan mungkin terlalu produktif untuk sebuah podcast yang hanya berbicara masalah kopi. beberapa masukan menyatakan bahwa podcast saya terlalu sering dirilis. Ada yang juga bertanya apakah tidak takut kehilangan ide ?

Keseringan mungkin iya, maklum ada mainan baru, tapi untuk kehilangan ide apa yang dibicarakan sama sekali tidak terlintas di pikiran. Sebagaimana ide menulis, setiap ide podcast selalu datang dengan tiba-tiba dan saya juga harus mengucapkan terima kasih kepada para pendengar yang senantiasa memberikan ide untuk calon nara sumber lain yang layak untuk ditayangkan dalam podcast.

Topik Podcast. Sebuah podcast dengan isu yang sangat niche, atau hanya kopi saja tentu harus diformulasikan secara berkesinambungan. Tapi tidak ada jadwal khusus untuk membahas topik-topi tertentu yang spesifik. Hampir kesemua isu diangkat tanpa ada rencana sebelumnya. Selama masih berkaitan dengan kopi dan industrinya secara keseluruhan, maka jadilah itu topik yang bisa ditayangkan.

Dari mulai pembahasan tentang perkebunan kopi, proses pasca panen, roasting, bisnis kopi susu, ilmuwan kopi, pedagang kopi di Vespa dan sepeda motor, dan banyak lagi topik dari orang-orang yang yang semoga menjadi inspirasi bagi para pendengar. Bahkan seorang Romo Katolik yang bergiat dengan kopi pernah saya angkat pada podcast episode ke-105.

Coklat dan Teh. Ada beberapa topik tentang teh, misalnya saya pernah mengangkat seorang Tea Master Indonesia, Ratna Somantri dan kompetisi Tea Master bersama OZA Tea di episode 25 dan 46. lalu ada juga episode tentang coklat bersama Fadilah Satria di episode 83. Kesemua episode tersebut memang bukan tentang kopi, tapi setidaknya sudah menjadi bagian khususnya pada menu-menu di coffee shop.  

Classical Baroque. Biasanya musik podcast terbatas pada jingle singkat saat pembukaan. Maklum ingin tampil beda saya mengangkat musik klasik pada setiap pembukaan episode nya. Genre yang dipilih adalah musik klasik pada era Baroque dan era lainnya bersama komponis yang sering saya dengarkan. Handel, Vivaldi, Bach. Alasan lain, sebetulnya ingin berbeda saja dan kebetulan musik ini dirasa cocok membawa suasana hati walau terus terang saya juga tak paham sepenuhnya musik yang sering membuat saya berfantasi menjadi seorang bangsawan.

Alat Podcast. Mengelola audio untuk Podcast itu ternyata gampang, tapi juga sulit luar biasa. Baru sadar bahwa sound engineering sungguh luar biasa rumitnya. Jadi kepada para pendengar mohon dimaafkan atas keamatiran saya mengatur audio apalagi pada saat dialog dilakukan melalui sambungan telepon.

Banyak sudah peralatan yang sudah pernah saya gunakan, dari mulai alat perekam Zoom H5, Zoom H1N, audio interface dari Focusrite, dan terakhir alat rekam sekelas Mixpree-3 Ver 2 sudah saya gunakan. Memilih microphone yang cocok ternyata cukup rumit juga dengan begitu banyaknya jenis dan pilihan yang tersedia, tapi akhirnya saya memilih menggunakan Shure SM7B, Rode,Video Mic dan Lavalier mic dari merek  Boya ternyata hasilnya bagus, dan kesemuanya diakuisi secara perlahan.

Garageband & Audition. Semua rekaman diedit kembali melalui piranti Garageband atau Adobe Audition. Biasanya memotong jeda yang cukup panjang, lalu eeee yang seringkali muncul dan agak mengganggu. Bila podcast-nya 1 jam, maka sepanjang itulah saya memperbaiki kualitas audio agar enak untuk didengarkan. Lalu dipasangkan audio untuk musik pembuka, pengenalan nara sumber, dialog itu sendiri, penutup, dan musik penutup. Kira-kira itulah sistematika saya melakukan editing audio. Ini belum termasuk normalisasi dan entah apalagi istilah lainnya agar suaranya cukup nyaman untuk didengarkan.

Literasi kopi itu penting. Lewat tulisan maupun audio, itulah cara yang saat ini bisa saya lakukan agar secuplik kisah kopi di negara ini punya dokumentasi dan jejak yang kembali bisa ditelusuri oleh siapapun. Podcast saya tentu banyak kekurangan, dan mohon dimaafkan, tapi tanpa langkah konkrit lebih baik saya melakukan sesuatu sekaligus belajar beradaptasi dengan kemajuan teknologi.

Semoga beberapa perbincangan di podcast bisa menjadi inspirasi pembaca atau siapapun yang sudah setia menantikan episode terbaru yang bisa diakses di iTunes maupun Spotify.

*. *. *.