Samcheong-dong adalah kawasan perbelanjaan di pusat kota Seoul yang jauh dari hiruk pikuk mall2 besar. Lokasi yang pas untuk mengunjungi butik, restoran, kerajinan tangan, dan tentu saja cafe-cafe tradisional maupun modern seperti dikawasan kota tua Jakarta yang tertata rapi. Di tengah cuaca cerah, tapi suhu sekita 5 derajat celsius, berdua dengan rekan sekantor, kami memasuki Coffee Mill yang fotonya saya temukan saat sedang googling. Ini hari pertama bertepatan dengan lebaran Haji kemarin saya tiba di Seoul, Korea Selatan untuk perjalanan dinas dari kantor. Di Seoul, saya merasakan the soul of coffee, dan inilah beberapa pengalaman mengeksplorasi kultur kopi di Korea.

Warga Korea Selatan menganggap kopi sebagai minuman keseharian, jauh sebelum Starbucks mengenalkan frappuccino kepada generasi muda di Seoul. Setidaknya itu menurut kolega kantor saya dan juga hal ini terbukti dimana Hario atau Melita drip filter bukanlah alat yang aneh bagi mereka. Saat di sana, saya melihat alat2 tersebut digunakan setiap pagi di pantry kantor oleh para kolega perempuan yang dengan begitu terampilnya menyeduh dengan menggunakan metode drip ini. Mereka biasanya membeli kopi dari cafe langganannya dan langsung digiling di sana untuk dinikmati saat bekerja.

Pemandangan yang sama terlihat ketika saya sedang berjalan-jalan di kawasan Samcheong-dong yang asri, jajaran cafe kecil, rumah butik desainer Korea, dan restoran begitu tertata secara artistik. Banyak di antaranya yang menggunakan arsitektur khas Korea dengan bayunan kayu berukir ornamen oriental dengan pencahayaan artistik.

Saya memasuki cafe kecil yang dipenuhi oleh berbagai coretan seni dari pemiliknya yang berjambang lebat walaupun sayang tidak bisa berbahasa Inggris. Inilah Coffee Mill,warung kopi mini yang menggunakan alat drip filter selain mesin espresso Appia. Lebarnya sekitar 3 meter dengan panjang 7 meter belum termasuk peralatan roasting dan bar. Jadi bisa dibayangkan betapa sempitnya cafe yang dimiliki oleh seniman “ganteng” ini. Tapi sepertinya kondisi tersebut tidak menyurutkan beberapa pengunjung yang datang silih berganti, beberapa di antaranya turis asing

Pemiliknya yang nyeni itu sepertinya senang dengan kedatangan tamu dari Indonesia untuk pertama kalinya ke tempat mereka dan berusaha mengajak berbincang walau harus menggunakan bahasa Tarzan atau isyarat. Menurutnya, walau kecil mereka melakukan roasting kopi sendiri yang mesinnya didatangkan langsung dari Korea. Di sudut tampak dua mesin roasting, satunya adalah micro roasting lab buatan Jepang yang baru saja digunakan.

Selain dengan berbagai benda seni dan hasil karyanya yang lain, di rak-nya terdapat kopi dari berbagai wilayah termasuk Indonesia tentunya walau sayang harganya sekitar 100 ribuan untuk 200gr biji kopi. Harga di Seoul memang relatif mahal, apalagi satu cangkir kopi hitam dari Colombia pesanan saya dihargai sekitar 60 ribuan rupiah, secangkir latte bisa berharga 70 ribuan, duuuh. Secara umum rasa kopinya “mudah dicerna”, tapi yang penting mereka selalu menyajikan kopi dengan tanggal roasting yang berbeda pada setiap kemasan kopinya untuk menjamin pengunjung mendapatkan kopi yang masih “segar”.

Cafe pertama yang saya kinjungi ini harus mengubah persepsi saya sebelumnya yang menganggap bahwa masyarakat sini lebih sering minum teh dibanding kopi. Pendapat itu buyar manakala jajaran cafe seperti Coffee Mill mudah sekali ditemukan di berbagai penjuru kota ini, terutama di pusat perkotaan.

Selanjutnya, saya harus naik subway Seoul yang super nyaman dan tepat waktu hingga ke detik-nya menuju arah Hongdae, yang merupakan salah satu pusat kehidupan malam di kota Seoul khususnya kalangan para mahasiswa. Posting selanjutnya.

8 replies
  1. denny
    denny says:

    wow, kahum ya.. kecil tp oke banget spertinya (kecuali hrganya)
    hahhaha.. ntar pas ke korea bkl saya cari deh tmpt ini.. menarik 😀

  2. Lulu
    Lulu says:

    Keren liputannya Kang Toni 🙂 Saya salut sama kedai-kedai kopi di Korea, juga Jepang. Ukurannya kecil tapi begitu artistik! Saya lihat kedai kopinya Hiroshi Sawada (Juara kompetisi Latte Art di Amrik) juga begitu. Kecil-kecil cabe rawit hehehe 🙂

  3. jules
    jules says:

    pengen bgt ke seoul mo liat kafe2nya gara2 nonton drama korea. banyak adegan yg settingnya kafe, desainnya unik2 n tentunya penasaran dgn rasa kopi korea
    stlh baca postingan mas toni tambah kepengen ke seoul
    tq 4 sharing mas
    kamsahamida… 🙂

  4. prast
    prast says:

    salut om…baca tulisan om jadi terbawa suasana dan saya setia menunggu cikopi versi video nya lho om 🙂

    (butuh asisten amatir?)hahaa….

    salam sruput

  5. budi
    budi says:

    budak budak bermain tali
    main tali di tepi perigi
    kopi manis enak sekali
    boleh saya minta secawan lagi

  6. mirzaluqman
    mirzaluqman says:

    kedai kopi tuh sudah ada dimana-mana, pilihan rasa tergantung selera… kalau buat saya tidak ada yang baku dengan rasa kopi semua kopi punya karakter yang khas, tergantung kita pilih karakter yang mana :)…salute buat semua orang yang sudah menyebarkan cerita tentang kopi seperti cikopi ini. Dibelahan dunia manapun kopi tuh berwarna hitam, dicampur susu jadi berwarna coklat, dikasih gula jadi manis, yang membedakan hanya senyuman sang Barista.

  7. Charles
    Charles says:

    Iya, Pak Toni.
    Bulan lalu waktu saya ke Seoul juga berasa bener, kopi dimana-mana.

    Sempet di foto-fotoin juga sih tuh ada kali sepanjang jalan 15 merek kafe. beda-beda semua.

    Tapi karena waktunya gak cukup banyak, jadi gak bisa jalan ke daerah yang masih asli dan original.

Comments are closed.