cg3

Berkisah tentang Common Grounds tidal akan lepas dari pergulatan tiga orang pendirinya, Aston Utan (31), Daryanto Witarsa (29), dan Yoshua Tanu (28) pada saat mereka mulai membangun Pandava Coffee. Sebelum ketiganya berkolaborasi, mereka dipertemukan secara tidak sengaja pada saat menuntut ilmu di Amerika. Entah siapa yang memulai, tiga orang ini kemudian mulai merancang sebuah projek pada saat kembali ke Indonesia nanti dan coffee shop adalah pilihan yang disepakati.

cg9

Pandava Coffee

Desember 2012. Dari ketiga orang tersebut, hanya Daryanto yang mengenal kopi karena keluarganya telah lama berkecimpung dalam perdagangan komoditas ini di Lampung. Sementara Aston dan Yoshua sama sekali belum berkenalan secara intim dengan minuman yang kelak akan menjadi salah sumber inspirasi mereka. Tapi dari tangan ketiganya, lahirlah Pandava Coffee pada Desember 2012 sebagai embrio Common Grounds. 

Tidak ada makanan. Pandava yang mulai beroperasi di Desember dua tahun lalu berkonsep purist, alias tanpa menyediakan makanan yang mengenyangkan, tapi pengunjung bisa menemukan kopi dalam dan luar negeri di Pandava Coffee. Saat ini terdapat dua bar yang terintegrasi, satunya dengan mesin espresso dari merek butik Slayer, dan mereka tercatat sebagai coffee shop pertama yang menggunakannya di Indonesia. Satu slow bar melayani berbagai sajian kopi dengan menggunakan filter.

Specialty Coffee ? Menurut Aston, jangan dikira bila mereka pada saat itu punya pemahaman tentang apa itu specialty coffee. Sebelum memutuskan untuk menggunakan Slayer, Pandava masih mengoperasikan mesin tradisional dari Italia. Tapi di perjalanan mereka segera ngebut dengan meningkatkan kualitas sajian kopi, keterampilan Barista. “We have to do better, because we know we can do better” kata Aston.

Daryanto mengenang pada saat itu mereka hanya ingin membuat sebuah coffee shop semata, tanpa bermaksud untuk mengelevasinya ke tingkat yang lebih tinggi. Tapi pengalaman melihat beberapa coffee shop khususnya di San Francisco dan Melbourne membuka perspektif mereka.

Sebagai bisnis model Pandava berjalanan cukup baik, tapi satu hal yang kurang menurut Aston adalah aspek makanan. Bukan hanya di Jakarta, tapi secara kultur di Asia, makanan merupakan sajian yang tak kalah penting di sebuah kedai kopi. Dua tahun setelah Pandava berdiri, mereka bermufakat untuk memulai hal yang baru dan itulah awal kelahiran Common Grounds.

c10

Common Grounds

Usianya baru saja menginjak satu tahun dan Common Grounds adalah salah satu testamen perkembangan kopi spesial khususnya di ibu kota. Berlokasi di Sudirman City Walk, di tengah pusat bisnis dan apartemen premium, Common Grounds telah melahirkan dua juara nasional Latte Art dan terakhir kejuaraan Barista di bulan Juni, kesemuanya di tahun yang sama, 2014.

Dua juara. Tak serta merta prestasi yang sudah diraih oleh Common Grounds didapat dengan mudah. Pengalaman kejuaraan Barista di tahun 2013 yang tak satupun wakil mereka, yang saat itu dari Pandava berhasil menembus final. “Bahwa untuk menjadi juara perlu kerja keras sebuah tim yang solid” kata Daryanto, hingga Common Grounds mencatatkan rekor sebagai satu coffee shop yang melahirkan dua juara nasional sekaligus di tahun yang sama.

Common Grounds adalah babak ke-2 dari perjalanan mereka setelah debut ketiga anak muda ini di Pandava Coffee. Salah satu perbedaan yang menyolok adalah ketersediaan dapur di Common Grounds.

Untuk kopi ketiganya harus bekerja lebih keras dalam mencari sebuah blend yang buka hanya bisa dinikmati dari hasil mesin espresso, tapi juga rasanya harus sesuai dengan harapan mereka saat di proses di filter. Aston, Daryanto dan Yoshua mengenang bagaimana pada saat-saat awal mencari racikan kopi terbaik mereka harus membawa 40 kilogram kopi dari luar negeri.

cg5

Cloak + Dagger. Selama berminggu-minggu Daryanto yang bertugas melakukan roasting mencari racikan terbaik dari beberapa campuran kopi yang mereka uji coba selama berminggu-minggu. Proses yang tentu saja melelahkan karena mereka harus tahu variabel yang mereka sukai dan tidak senangi pada kopi yang di cupping. Kriteria kopi yang mereka cari adalah gabungan dari rasa “sweet, complex, nice brightness”. Yirgacheffe adalah salah satu kopi yang akhirnya mereka putuskan sebagai aktor utama serta ditambah dua varian lain dari Aceh dan Sulawesi.

Coffee Book + Mahlkonig EK43. Setiap Barista di Common Grounds dibekali dengan sati buku kecil yang berisikan catatan mengenai cita rasa kopi yang telah meraka cicipi. Buku tersebut tentunya sangat penting kata Aston, karena Barista harus terus mengasah palate-nya terutama pada saat berinteraksi dengan pengunjung.

Untuk keperluan menggiling kopi mereka mengandalkan salah satu grinder yang digunakan di sini, EK43 dari perusahaan penggiling kopi di Jerman, Mahlkonig.

cg6

Makanan yang bisa bersanding dengan kopi. Itu filosofi dari Common Grounds dan bukan sebaliknya atau kopi yang bisa berteman dengan makanan. Konsep ini juga yang mendasari pada saat rembukan ketiga orang ini pada awal berdirinya Common Grounds. Harus ada kejelasan dari mana makanan berasal agar tidak membingungkan pengunjung dalam membuat keputusan, dan western food adalah akhirnya disepakati sebagai menu utama.

Mereka juga yakin bila makanan adalah pintu gerbang bagi siapa saja yang ingin menikmati kopi terbaik di Common Grounds. Tanpa berpretensi untuk meniru coffee shop di Australia, Common Grounds mencoba mengenalkan kultur “brunch” karena mereka juga menyasar tamu banyak asing yang sering bertandang ke sini. Cobalah Egg Benedict dan Huavos Ranchreos con Rendang, dua favorit menu brunch yang biasa saya nikmati bila ke tempat ini.

cg8

Paradigm shift. Katakanlah Anda pengunjung yang tak paham tetang kopi spesial, tapi tenang saja karena staff Common Grounds akan mencoba memberikan pilihan sesuai dengan preferensi mereka. “Karena Tidak ada kopi terbaik buat semua orang” kata Aston, jadi Common Grounds mencoba mencari tahu pilihan atau kriteria yang dikehendaki oleh masing-masing pengunjung.

Tapi dari pengalaman yang mereka peroleh, banyak yang awalnya tak pernah berkenalan dengan secangkir kopi seolah mendapatkan perubahan paradigma setelah dikenalkan dengan filter kopi.

cg4

Epilog 

Daryanto yang dianggap sangat kompetitif dan menganggap tantangan sebagai arena pembuktian bahwa bila sesuatu dikerjakan dengan persiapan yang matang hasilnya akan selalu sesuai dengan harapan. Aston yang mampu menerjemahkan konsep bisnis yang ia rancang dengan matang untuk kemudian diwujudkan bersama dua rekannya. Terakhir Yoshua, yang diam-diam melesat ke tengah pusaran kopi spesial di Indonesia dan menjadi Barista terbaik setelah berlatih spartan setelah gagal di tahun sebelumnya.

Sambil menantikan kehadiran St. Ali di Common Grounds pada pertengahan September yang akan datang, Daryanto, Aston, dan Yoshua adalah tiga orang yang kiprahnya telah menyumbangkan makna penting dalam perkembangan kopi spesial di Indonesia.

*  *  *

Common Grounds Coffee
City Walk Sudirman 1st fl.
Jl. K.H. Mansyur No. 121
Jakarta Pusat 10230
021 – 2555 8963

Pandava Coffee
EpiWalk Mall Ground Floor Unit W119.
Jl. H.R. Rasuna Said.
Rasuna Epicentrum. Kuningan, Jakarta Selatan

mahl

huevos rancheros

egg benedict

cg7

8 replies
  1. mike
    mike says:

    Barusan cobain common ground karena tertarik baca review dari cikopi ini..
    espresso-nya the best yg pernah saya coba..hahaaa..tapi saya masih newbie bgt jgn terlalu dianggep..
    tadi cobain manual brew juga..pesen yirgachaffe di brew pake H-60..hmmm rasanya menarik tapi memang brew jenis ini menghasilkan kopi yg agak watery, bisa di bilang “not my cup of coffee”..
    overall..great coffee + great food..awesome.!!

  2. Fitri Maryanti (@phitri)
    Fitri Maryanti (@phitri) says:

    saya pembaca setia blog ini dan terimakasih sudah banyak share ilmu tentang kopi. saya sekarang juga mulai rajin nyoba2 teknik2 bikin kopi seperti yang sering ditulis di blog ini.
    karena banyak belajar tentang kopi dan ngopi, saya sekarang jadi penasaran apa ada yang nulis tentang teh dan nge-teh sekomplit pak toni? kalo ada, mungkin bisa di share link nya?

    Belum pernah browsing, tapi Ratna Somantri adalah salah satu penggiatnya.

    • Nugraha K
      Nugraha K says:

      Pak Toni, tolong delete aja ini komennya. Saya kira linknya dia tentang apa, begitu di buka ada animasi gif orang sedang melakukan hub dewasa, mana saya buka di kantor lagi.
      *Ooops

  3. Farmersground (@Farmersground)
    Farmersground (@Farmersground) says:

    sedikit koreksi pak :
    …Tapi dari tangan ketiganya, lahirlah Pandava Coffee pada “Desember 2014” sebagai embrio Common Grounds…

    *2012/2013 ?

    Sudah di edit, terima kasih koreksinya, yang benar adalah Desember 2012. 🙂

  4. Leo
    Leo says:

    Uda banyak denger Common Ground dr sahabat dan socmed. BeTi yah ama Common Man di SG, namun keduanya tetap menyajikan kopi yg nikmat.

Comments are closed.