In 1000, patrons of coffee house in Persia (now Iran) found they had better enjoyment from Hakim Abu al Kasim Firdausi’s heroic tales poems called Shāhnāmeh, when accompanied with cups and cups of coffee. In truth, before the fall of Constantinoples till the rise of England, coffee houses had given inspirations, warmth and freedom of toughts. A café is not a place where the numbers of patrons are high, but a place interactions from the patrons themselve are more intense, and I could feel the aura the first time I stepped foot at Java Dancer Coffee, located at Jl. Kahuripan 12, in Malang. Here’s a coverage of my trip to the café that has become Malang’s latest icon.

The time indicates that it’s 5.30 pm on a Saturday night (23 January) when the patrons almost fill up every corner of the 55 meter squared café, located right in front of the Tugu hotel. It’s designed with an ethnic touch and decorated with Javanese ornaments here and there, including a life-size Semar statue half bowing on the corner of the entrance, offering a cup of coffee and inviting the pedestrians to come, as the mascot. On the other corner of the bar, you can find a Rancilio Classe 8 machine with a Mazzer Super Jolly grinder, along with syphon filters and french presses. Espcially for Indonesian style kopi tubruk (an Indonesian-style coffee where coarse coffee grounds are boiled along with solid sugar, resulting in a thick drink similar to Turkish coffee), they grind the coffee with a Zassenhaus; a high precisioned manual grinder.

It’s my first visit to Malang, East Java, to meet and greet the people at Java Dancer Coffee; David Tanuwidjaja, Hendri and Andri Gunawan.  For the first time ever, I will enjoy Aceh Gayo coffee, an old and faithful friend of mine, at its roasting centre in Malang. Being in the café, I can’t help feeling awed by the comfort of its interior, which is bathed in soft lights and makes me glued to my comfy wooden seat while enjoying my cup of coffee – why, Aceh Gayo from a french press, of course.

Established about a year ago, exactly in December 2008, Java Dancer Coffee tries to live its mission of sharing the greatness of handcrafted Indonesian coffee to coffee lovers.

The term “handcrafted” means the process of roasting and serving of coffee by the barista using modern and high quality machines, while it’s still manually controlled. “A good quality machines, from roasters to coffee machines, will, of course, produce the best coffee.” Explains David, the owner of Java Dancer Coffee who was born and bred in Malang and desires to start a business in his hometown, as well as giving something back to Malang (more detailed notes can be found on his Facebook page).

I’ve known David since 2007, when coffee addicts often bantered around in Kaskus and had informal gatherings at random malls in Jakarta. They call themselves as SCAK (Specialty Coffee Association of Kaskus). Besides David, there was Hendri, a coffee addict and barista who once opened a café in Bandung, and Andri Gunawan – a self-taught catedores or a cupper who started learning coffee seriously the day he received his own package of Vietnames coffee, including the infamous Vietnamese coffee drip kit. These three people are the ones who are responsible for the daily operations of Java Dancer Coffee, and each has a passion to serve the best Indonesian coffee to the patrons.

There’s a certain kind of idealism from the founders of Java Dancer Coffee, especially in giving an understanding to their customers about proper coffee serving, although sometimes it collides with the – more often than not – unsual ‘needs’ of the customers. Once there was a customer who asked for his syphon filter to be refilled, a strange request that of course could not be granted, since it would ruin the taste of the already brewed coffee, or a disappointed customer who found out that an espresso is in fact only 30ml of strong coffee liquid. But there are also others who are used to the way coffee is served at Java Dancer Coffee.

Andri remembers well of the first Dutch couple at Java Coffee Dancer, who were extremely impressed with their latte, and claimed that after many months of staying in Indonesia, it was their first time ever of tasting such excellent coffee. There were other ups and downs, and yet as a newly established café, Java Dancer Coffee is involved with social charity programs in the neighborhood, including recruiting foster children who excel academically but are financially limited.

So how does coffee at Java Dancer Coffee taste, knowing that it has a single origin from the western end of Aceh Gayo to the east of Wamena, including two kinds of Luwak coffee; Java Arabica and robusta from Sumbawa? It doesn’t do justice for me to say that their coffee is nothing but excellent, without you trying it yourself. Besides the fact that Java Dancer Coffee lacks the usual pretense of saying that their coffee is the best, they always strive for the best effort in proper packaging of their coffee.

Currently, they’re planning on expanding their coffee market in Indonesia, and Jakarta might be the next destination where Java Dancer Coffee will have its second branch. With its young age, Java Dancer Coffee has already made a new tradition in serious but fun coffee drinking, while at the same time spreading the “cheerful and dispel the memory of sorrow” virus to all coffee lovers.

Make sure to come back, as I will talk more about the founders of Java Dancer Coffee on my next post. See you then!

PS: Thank you to Mr. Charles Siam who was more than willing to lend his cameras to me to cover this article.

*****

Pengujung coffee house di Persia (Iran) pada abad ke 1000 lebih bisa menikmati puisi  tentang kisah kepahlawanan dalam buku Shāhnāmeh dari Hakim Abu al Kasim Firdausi apabila ditemani secangkir kopi panas. Sejatinya kedai kopi sejak era Konstatinopel hingga di Inggris senantiasa selalu memberikan inspirasi, kehangatan dan pembebasan pikiran. Cafe bukanlah warung yang lalu lintas pengunjungnya harus tinggi, tapi sebuah tempat dimana interaksi pengunjung bisa lebih intens dan saya bisa merasakan aura itu saat pertama kali menginjakan kaki di Java Dancer Coffee, Jl. Kahuripan 12, kota Malang. Berikut liputan sebuah perjalanan di sebuah cafe yang sudah menjadi ikon baru di kota ini.

Waktu sudah menunjukan pukul 17.30 saat para pengunjung di malam Minggu (23 Januari) tadi hampir memenuhi di berbagai sudut ruangan cafe yang luasnya sekitar 55 meter dan berlokasi tepat di depan hotel Tugu. Didesain dengan nuansa etnik yang kental dan dihiasi berbagai ornamen khas Jawa termasuk sebuah maskot patung Semar yang berdiri setengah membungkuk di salah sudut sambil menyodorkan secangkir kopi seakan mengundang para pejalan kaki untuk ngopi. Di sudut bar terdapat mesin Rancilio Classe 8 beserta alat penggiling kopi Mazzer Super Jolly, selain syphon filter, dan french press. Khusus untuk kopi tubruk mereka menggiling kopinya dengan Zassenhaus sebuah alat penggiling manual yang punya presisi tinggi.

Ini kunjungan saya yang pertama di kota Malang, Jawa Timur dalam rangka sowan dengan para karib di JDC, David Tanuwidjaja, Hendri dan Andri Gunawan. Untuk pertama kali saya akan menikmati kopi Aceh Gayo, teman setia sepanjang hari di pusat roasting-nya, Malang. Di dalam cafe, mata saya tak habis2nya memperhatikan elemen desain di JDC yang berbalut lampu penerangan temaram tentu saja membuat enggan beranjak dari kursi kayu sambil menikmati secangkir kopi, apalagi kalau bukan Aceh Gayo dengan french press.

Berdiri setahun yang lalu di bulan tepatnya di Desember 2008, JDC mencoba menjalankan misi share the greatness of handcrafted Indonesian coffee kepada para pecinta kopi. Proses roasting hingga disajikan oleh barista menggunakan mesin modern dan berkualitas, tapi dikontrol secara manual, makanya disebut handcrafted.  “Alat yang berkualitas dari roaster hingga mesin kopi, akan menghasilkan kopi yang tentu baik”ujar David sang empunya JDC yang  arek Malang dan ingin memulai menjalankan bisnisnya di kota kelahirannya sendiri seraya menyumbang sesuatu bagi kota Malang (catatan lengkapnya bisa anda lihat di Facebook)

Saya mengenal David sejak tahun 2007 saat para penggemar kopi yang biasa berceloteh di Kaskus mengadakan pertemuan informal di sebuah mall di Jakarta. Mereka menamakan dirinya sebagai SCAK (Specialty Coffee Association of Kaskus). Selain David, saat itu ada Hendri seorang coffee addict sekaligus barista yang pernah membuka cafe di kota Bandung, lalu Andri Gunawan, catedores atau cupper yang belajar secara otodidak dan mulai mencicipi kopi secara serius saat dikirimi kopi Vietnam berikut alat penyeduhnya (Vietnam drip). Ketiga orang inilah yang sehari-harinya bertanggung jawab di JDC dan masing2 punya passion untuk menyajikan kopi Indonesia terbaik kepada para pengunjung di cafe mereka.

Ada idealisme dari para pengurus JDC khususnya dalam memberikan pemahaman kepada para pelanggannya tentang penyajian kopi yang benar walau kadang terbentur dengan kemauan pengunjung yang seringkali agak aneh. Ada pengunjung yang minta syphon filternya diisi ulang, sebuah keingan nyeleneh yang tentunya   tak bisa dikabulkan karena akan merusak cita rasa kopi yang sudah diseduh. Atau tamu yang menyesal setelah mengetahui bahwa espresso itu hanyalah 30ml air kopi :), tapi banyak juga yang justru mulai terbiasa dengan sajian kopi di JDC.

Andri mengingat benar pasangan Belanda yang menjadi tamu pertama di JDC begitu terkesan dengan latte di sini dan menyatakan bahwa baru kali ini mereka merasakan kenikmatan ngopi setelah berbulan tinggal di Indonesia. Banyak tentu suka duka yang lain namun sebagai sebuah perusahaan kedai kopi yang baru tumbuh JDC turut terlibat dalam program tanggung jawab sosial kepada masyarakat sekitar. Mereka merekrut beberapa anak asuh yang punya kemampuan akademis, tapi punya keterbatasan finansial.

Jadi bagaimana rasa kopi di JDC yang punya single origin dari ujung Barat Aceh Gayo hingga Timur Wamena serta dua jenis kopi luwak Java Arabica dan robusta dari Sumbawa ?  Tak elok kalau saya katakan bahwa kopi mereka enak tanpa anda mencobanya sendiri. Selain itu JDC juga tidak punya pretensi bahwa kopi mereka adalah yang terbaik, tapi mereka selalu berusaha mengemas kopi Indonesia semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan yang dipunyai.

Saat ini mereka berencana untuk terus mengembangkan pasar kopi di Indonesia dan Jakarta mungkin akan menjadi kota tujuan kedua tempat JDC berkiprah. Dengan umurnya yang masih muda Java Dancer Coffee sudah membuat tradisi baru ngopi serius tapi fun seraya turut menyebarkan virus cheerful and dispel the memory of sorrows  kepada para pecinta kopi. Postingan selanjutnya kita akan mengenal lebih dekat ketiga orang coffee addict, tungguin ya 🙂 . Salam.

* * * * *

Note : Terima kasih buat Pak Charles Siam yang rela kameranya saya pinjam khusus buat liputan di JDC:)

Terakhir, mau pamer 🙂

43 replies
  1. Jejei
    Jejei says:

    Waaah Pizza nya….gak jadi nyobain. Lain kali sy pasti mampir dan jangan lupa ajarin sy cara minum kopinya ya dri

  2. Soya2
    Soya2 says:

    Well to be honest,

    i have just spend my Christmas and new year at Malang, and java Dancer Coffee is one of the places that i loved in Malang, in fact since 2008… I fell in love with this place…

    Back in December 2008, it was my first visit to malang and it was the first time i know about JAVA DANCE COFFEE. I went there with my best friend and his sister. when i saw the barista grind the coffee manually and compliment us for free coffee using the siphon… I swear, that i have to go to this place again… and since that, I enjoyed my christmas and new year holiday @ Malang.

    but still, instead using a coffee press (french press) or siphon filter, i rather choose the antique way to drink coffee by ordering the “tubruk” way….

    I choose Kintamani Bali for my coffee at Dec 2010, I love its sweetness and tenderness… kind a sexy i think… 🙂

    well, I really like this place… especially when its the rain in the afternoon… cos at night this place is too crowded to me….

    Dont forget to try the fried mushroom….. 🙂

    and NOW….. I already miss Malang….

    See ya at December 2011

  3. novico
    novico says:

    mas saya akan membuat sebuah warung kopi di daerah batu- malang, saya pengen menampilkan komunitas, elegan, kelas dan nuansa etnik masyarakat ngopi, foto-foto mas Toni keren bgt, saya minta izin untuk boleh memasangnya beberapa foto yang mewakili selera kopi Indonesia melalui jepretan mas Toni

  4. dman
    dman says:

    Halo pak Toni,
    Semoga kabarnya baik² saja di Jakarta, permisi numpang komen pak untuk menanggapi pertanyaan di atas 🙂

    @Agus
    Mohon maaf pak Agus, kebetulan di waktu yang bersamaan saya juga ada tamu dari luar kota yang sudah membuat janji sebelumnya, jadi tidak enak kalau saya tinggal menemui tamu lain.
    Mohon diluangkan waktu lagi untuk mampir ke JDC jika berkunjung ke Malang & memberi kabar ke kita sebelumnya.
    Terima kasih 🙂

    @wifka
    Silakan Wifka, untuk detail lebih lanjut bisa langsung ketemu General Manager kita ibu Sonia.

  5. wifka
    wifka says:

    pak, saya kan sedang buat skripsi tentang Java Dancer Coffee, kalo mau tanya2 bbbisa g??
    thanks

  6. Agus
    Agus says:

    Minggu sore kemarin dari Surabaya dengan 2 orang teman menyempatkan singgah ke JD, seorang teman yang mempunya ‘passion’ terhadap kopi berharap bisa bertemu dengan pemiliknya dan sedikit berbincang, namun waiter mengatakan tidak bisa, padahal kami tahu sang pemilik ada disitu, mungkin mereka mengira kami adalah sales yang akan menawarkan barang…., hmmmm….! kecewa juga sih….. ;=(
    Mereka yang datang untuk ngopi bukan sekedar minum untuk menghilangkan haus atau kantuk, tapi menghirup aroma dan membandingkan taste berbagai aroma kopi tentu merupakan seni tersendiri….

  7. nemo
    nemo says:

    Mangstaph habis review dari pak Toni kali ini, dan ditulis dengan bahasa yang indah mempesona.

    Nais inpoh gan :thumbup: :thumbup: 😀

  8. ebot
    ebot says:

    Salam kopi mas..Saya ebot..mas,boleh tau alamat rumah mas?saya ingin mengirimkan beberapa sample kopi baik itu jenis toraja maupun arabica.Saya ingin minta pendapat mas mengenai kualitas kopi nya.Saya ada planing buat produk kopi.Bila bersedia akan saya kirim baik dalam bentuk roasted/grounded…Bisa hubungi saya di no hp 0254-9188661/email yuandghi@yahoo.co.id. Saya tunggu responnya.Makasi.salam kopi

  9. hais
    hais says:

    salam kenal pak, makasih pak toni info2nya, sy mulai tertarik sama kopi dr review2 bpk + SCAK tentunya….

  10. nia
    nia says:

    suka banget ke JDC, tapi…tapi…tapi…sering balik kucing…ngga dapet tempat duduk…
    mas toni, saya duka poto2nya… 😉

  11. wahyu
    wahyu says:

    salam kenal mas tony
    wah saya kagum sama mas tony, pengalaman nyobain di berbagai coffee shop dah banyak, saya sendiri lom smua, mas sekali-sekali mampir donk ke kampus Binus di palmerah, disamping kampus binus anggrek ada coffee shop baru namanya ‘coffee toffee’ lom ada reviewnya neh dsini…hehe ditunggu ya mas review berikutnya…

    Boleh … kapan2 saya mampir ya.

  12. dman
    dman says:

    Thanks alot & matur nuwun gan,

    Sudah bersedia mampir ke ndeso Malang untuk ngopi bareng :))

    Semoga gak kapok untuk berkunjung lagi di lain kesempatan 😀

  13. SARANG KOPI
    SARANG KOPI says:

    Waduh sayang nich saya gak Bisa Ikut Pak.

    Huhuhu rindunya sama teman2 di sana…emg paling nikmat kalo ngopi sambil bertemu teman2 lama dari dunia kopi nich 🙂

    Ditunggu kunjungannya ke Bandung lagi Pak Toni…

    Kita atur jadwal lagi kalau nanti mau jalan2 ke Malang ya Pak …

  14. freshroasted
    freshroasted says:

    3TU buat foto dan tulisannya.
    …so far…this one the best..luv it 🙂

    sukses buat JDC.

    cheers

    Maksih … Saya juga pengen ngeliput boss yang satu ini. Menanti undangannya buat ngobrol2 sambil ngupi 🙂

  15. therry
    therry says:

    Duh Ton… tempatnya keqnya asyik bgt ya, dari depan aja udah ketauan, cozy dan wangi kopinya itu pasti mantab bgt, cucok buat hang out dan kopdar buat orang2 sinting macam kita ini lah huwahahah…

    mug warna ijonya lucu ya, ngeblend sama warna kopinya 🙂

    ini di potretnya pake Milk Bottle XXX ya???

    • Charles
      Charles says:

      Kali ini exclusive pakai ” The Brick ” Milk Bottle nya di tinggal sama Pak Toni. Gelo emang ini hasil nya.

      Iya the brick yang hardcore juga Ther … buat kopdar kita ya kapan2 🙂

  16. don dendron
    don dendron says:

    mantep liputannya….jadi pengen ke malang terutama menyambangi JAVA DANCER

    Yup, tempat asyik buat kongkow Mas …

  17. wallflowers
    wallflowers says:

    EDIANNN…
    Ciamikkk liputannya…
    foto2nya bener2 mantabsss abis.. Salut buat P.Toni atas dedikasi nya…ckckckck.. Om David juga keliatan lebih slim di foto..wkwkwkwkkw…
    Foto2 menunya bener2 bikin ngiler bos…ckckckckck…

    Menunggu undangan ke Kediri …. 🙂

  18. dman
    dman says:

    Mangstap review-nya pak.

    Sekali lagi terima kasih banyak telah sudi meluangkan waktunya untuk mengunjungi kita di ndeso Malang 🙂

    Jadi hits di blog saya Pak … suwun sudah menerima saya di kota Malang 🙂

  19. Charles
    Charles says:

    Tenang saja, foto pas lagi roasting juga ada kok.
    Ditunggu saja updatean dari pak Toni.

    Iya, tungguin ya, tampilan orang2 di belakang JDC 🙂

  20. luftrank
    luftrank says:

    wah lama ga komen di blognya pak Toni, pas liat liputannya keren! makin keren hehehe 🙂 btw kok ndak ambil foto saat roastingnya? penasaran sama mesin roasting yang dipakai. Salute!

  21. tere616
    tere616 says:

    Wah .. jadi tahu nih, kalo ke Malang harus mampir kemana .. hehehe ..

    As usual, love your pict Kang 🙂 awesome

    Si Akang pasti happy banget kalau ke sini Juin ….

  22. Yoga
    Yoga says:

    Wah baru tahu kalau di malang ada JDC, moga-moga pas liburan berikutnya bisa mencoba Kopi Atjeh Gayo kesukaan saya di sana. Seperti biasa, foto-fotonya keren. 🙂

    Sama kopi kesukaannya dengan saya 🙂 Thx Yoga.

  23. Andri Gunawan
    Andri Gunawan says:

    …salut, Ton…buat foto-foto & tulisannya…paragraf pembukanya mengundang pembaca untuk membaca lebih lanjut…

    Thanks Andri … terima kasih espresso dan latte yang ditambah “ramuan” ituh 🙂

  24. Charles
    Charles says:

    Gak bakal nolak kalau di suruh ke Malang lagi, biarin pulang nya juga penuh perjuangan. Wah saya lupa coba frape nya kebanyakan maen maen sama Rancilio classe 8.

    Sama Pak Charles … saya lupa minum frappe karena keasyikan motret 🙂

  25. dita
    dita says:

    love this post, seperti biasa membuka wawasan ttg dunia perkopian.
    Anyway, pake 5DMII semua ya Ton? Pake lensa brapa mm?

    Iya Dit, lensanya pake 24-70mm/f2.8. ISO 3200 untuk foto2 malam hari.

Trackbacks & Pingbacks

  1. […] This post was mentioned on Twitter by ve handojo, Hendri Kurniawan, Hendri Kurniawan, toniwahid, Block and others. Block said: #BlockTweet –> @VeHandojo: #etaugasilo … kalo buka http://bit.ly/cy2ZA6 bisa bengong ngeliat foto2 dan tulisan karya @toniwahid! […]

  2. […] This post was mentioned on Twitter by ve handojo, Hendri Kurniawan, Hendri Kurniawan, toniwahid, Block and others. Block said: #BlockTweet –> @VeHandojo: #etaugasilo … kalo buka http://bit.ly/cy2ZA6 bisa bengong ngeliat foto2 dan tulisan karya @toniwahid! […]

  3. Social comments and analytics for this post…

    This post was mentioned on Twitter by vehandojo: #etaugasilo … kalo buka http://bit.ly/cy2ZA6 bisa bengong ngeliat foto2 dan tulisan karya @toniwahid!…

  4. Social comments and analytics for this post…

    This post was mentioned on Twitter by vehandojo: #etaugasilo … kalo buka http://bit.ly/cy2ZA6 bisa bengong ngeliat foto2 dan tulisan karya @toniwahid!…

Comments are closed.