h10

Pesawat yang berangkat dari Singapura mendaratkan seluruh penumpang dan saya dengan selamat di bandara Noibai, Hanoi minggu kemarin. Ini kunjungan kesekian kali di kota tempat Ho Chi Minh mendeklarasikan kemerdekaan 67 tahun yang lalu. Setelah melalui pemeriksaan imigrasi dan pengambilan barang saya bergegas mencegat taksi yang langsung mengantarkan saya ke hotel di tengah kota. Di luar bandara saya baru sadar, salah membawa kostum di cuaca dengan suhu 17 derajat celsius !.

 h1

Saigon dan Ho Chi Minh

Bagaikan kisah A Tale of Two Cities dari novel Dickens yang masyhur, demikian pula jika membandingkan Ho Chi Minh dengan Hanoi, sebuah perdebatan tak kunjung usai. Mungkin faktor cuaca yang sejuk di bulan Desember hingga April membuat kota kolonial yang sarat dengan arsitektur Perancis ini rasanya lebih nyaman untuk ditinggali. Ho Chi Minh memang lebih vibran dan modern, tapi selain iklimnya, buat saya Hanoi lebih menawarkan ruh Asia. Pemandangan danau Hoan Kiem saat kabut tebal dan lampu temaram adalah romantisme kota Paris di Asia.

Selama seminggu saya berada di kota ini yang tetap diwarnai poster dan slogan ideologi komunisme, tapi ekonomi pasar sejak Vietnam mulai membuka diri di tahun 1986. Industri sedang tumbuh dengan cepat dan manufaktur menjadi salah satu tulang punggung ekonomi. Selalu ada yang berubah setiap kali saya ke negera ini dan tak salah bila orang menamakan Vietnam sebagai naga yang sedang tumbuh pesat dan mengancam hegemoni industri perakitan di Cina.

h4

Teh dan Kopi 

Sebagaimana di Ho Chi Minh, banyak cafe bertebaran di kota Hanoi serta para pedagang kaki lima yang menyajikan kopi dengan alat seduh Vietnam Drip. Tapi selain kopi, penduduk Hanoi juga adalah peminum teh terutama Oolong yang disajikan dalam cangkir kecil dengan rasa pekat.

Bila sedang berada di negara ini saya sedapat mungkin saya ikut menikmati kopi Vietnam terutama saat bersama kolega kantor sebagai sebuah courtesy, tanpa harus selalu membanggakan kopi dari Indonesia. Duduk di pinggiran jalan dengan kursi kecil sambil menikmati jajanan lokal di sore hari adalah kebiasaan dan pemandangan sehari-hari di sini.

Saya mencoba kopi Vietnam yang di roast hingga berwana hitam, mayoritas varian robusta, lalu disajikan dengan bongkahan es dan susu kental manis, cà phê đá. dan obrolan pun biasanya mengalir dengan lancar.

Tapi saya baru sadar bila Starbucks hanya ada di Ho Chi Minh saat di suatu hari meminta kolega saya untuk mengantarkan ke gerai kopi dari Amerika ini. “Di Hanoi, Starbucks belum hadir, hanya ada di Ho Chi Minh ” ujarnya sambil tersenyum, “jadi mari kita ke cafe lain saja”

tea

Ooo ternyata Hanoi belum tersentuh kopi berlogo hijau bulat dan tentu saja saya tidak tahu alasan pastinya. Tapi gerai McDonald pun baru saja beroperasi awal Februari kemarin di Ho Chi Minh setelah didahului oleh KFC dan Burger King. Entah kapan gerai Starbucks hadir di Hanoi, mungkin dalam waktu yang tak lama lagi.

“Apakah kehadiran gerai kopi dari negara lain akan berpengaruh kepada kebiasaan minum kopi rakyat Vietnam ?” tanya saya kepada beberapa staf saya dari Ho Chi Minh. “Dalam jangka dekat mungkin belum terasa, tapi saat ini generasi muda punya kebebasan untuk memilih. Tapi kami yakin kultur kopi lokal sulit tergusur dalam jangka waktu dekat” katanya optimis.

Mungkin jawabannya belum bisa dijadikan generalisasi, tapi denyut industri kopi Vietnam di bagian hilir masih belum banyak berubah. Setidaknya menurut pengamatan kasat mata setelah beberapa kali saya berkunjung ke negara ini.

Tapi pada lansekap yang lebih tinggi, saya merasakan betapa pemerintahan komunis Vietnam sedang dihadapkan pada pilihan gagap sejak dibukanya keran investasi asing. Sebagai negara dengan paham ekonomi sosialis mereka juga harus berusaha sekuat tenaga melindungi berbagai industri lokal agar tidak terpuruk dengan kompetisi global.

Di waktu yang tak lama lagi, bukan mustahil beberapa investor kopi asing mulai mengetuk pintu perizinan untuk membuka bisnisnya di Vietnam dan mereka akan berhadapan langsung dengan pemain lokal seperti Trung Nguyen. Sejauh mana negara ini bisa bertahan dan tetap membuat kolega saya membanggakan kopi lokal, waktu yang akan membuktikan.

Liberalisasi ekonomi memang sebuah jargon yang indah untuk diucapkan, tapi kadang seiring waktu, harganya cukup mahal untuk dibayarkan.

*  *  *

trung

h11

h8

h6

h7

 

9 replies
  1. Gita
    Gita says:

    Saya baru nemu ada blog ini dari link di web lain.
    Mantap bener.
    Saya sih bukan termasuk pecinta kopi, tetapi minum kopi juga… 🙂

Comments are closed.