attache

Felix Tansil ketiga dari kiri bersama Ni Made Ayu Marthini, Atase Perdagangan Kedubes RI di Washington beserta pada staff. 

Walaupun ada Caribou Coffee yang bersebelahan dengan Gedung Putih serta sering dijadikan tempat “persembunyian” favorit para lobbyist Washington dari kejaran media, tapi kota ini menurut Felix Tansil (37) masih  terlalu konservatif untuk sajian specialty coffee. Felix yang berasal dari Indonesia baru saja pindah dari hiruk pikuknya New York ke Maryland, Baltimore sekitar 45 menit dengan mengendarai mobil dari DC. Melalui Nagadi Coffee, yang berpusat di Silver Spring Maryland, tak pelak jika ia  merupakan salah satu pionir pebisnis kopi spesial Indonesia di negara yang mengonsumsi tak kurang dari 400 juta gelas kopi per hari.

nagadi2

Kepindahannya di negara bagian terkecil di Amerika untuk bekerja di salah satu perusahaan real-estate di Maryland, ternyata membawa keberkahan lain. Tidak seperti di  negara bagian NY atau California yang lebih mengenal specialty coffee, kota ini adalah contoh bagaimana penduduk lokalnya masih “puritan” dalam hal menikmati minuman kopi. “Kendalanya ya harus mendidik mereka untuk mengerti tentang specialty coffee” kata Felix.

Felix yang kelahiran Bogor berimigrasi pertama kali ke Amerika di tahun 1996 untuk melanjutkan pendidikannya dibidang arsitektur. Orangtuanya merupakan pemilik salah satu toko kelontong yang bernama Pakally di Jl. Merdeka 57,  kini sudah berusia lebih dari setengah abad di kota Bogor. Felix kecil sudah berkenalan dengan harumnya kopi yang dijual ditoko tersebut dan masih hafal suara grinder Mahlkönig menggiling kopi pesanan para pelanggan tokonya.

nag2

Ayah dari Emanual (4.5) dan Rafaela (1.5) yang juga beristrikan  seorang arsitek kini ingat benar saat hijrah pertama kali ke Amerika. Musim dingin ! Menurut Felix, tak mudah menyesuaikan iklim bagi pendatang seperti dirinya yang sudah terbiasa dengan cuaca tropis Indonesia pun hingga sekarang.

Kembali lagi pada kopi, pada mulanya ia me-roasting sendiri dengan Hot Top, saat itu di tahun 2008, karena Felix merasa belanja kopinya dari Blue Bottle , Klatch, serta Vivace cukup mahal. Hasil roasting-nya ia bagikan kepada rekan-rekannya dan hampir serempak semua menyukainya. Lalu mereka menyarankan Felix untuk mulai menjualnya di Farmers Market.

Selama dua tahun dari 2011 hingga 2013 ia melakoni penjualan mingguan di pasar para petani sambil terus bekerja  di salah satu perusahaan swasta di sana. Mesin roasting-nya yang hanya bisa menampung 250 gram  mulai kewalahan, lalu Felix menggantikannya dengan Coffee Tech Solar yang berkapasitas 2 kilogram, hingga akhirnya jatuh hati ke Diedrich IR-12 dan tentu saja dengan  volume yang jauh lebih besar.

Bungkusan Kopi Pakally

Tak mudah buat Felix untuk mengenalkan kopi Indonesia di tenpat tinggalnya, Silver Spring, Maryland yang lebih mengenal dua kopi import dari Brazil, Colombia, dan terbatas pada kopi Sumatra untuk yang berasal dari Indonesia.  Kendala lain dalam mengenalkan kopi Indonesia seperti Toraja atau Java Preanger terbentur pada harga yang jauh lebih tinggi dan mengakibatkan harga jual yang tidak kompetitif.

Tapi halangan tersebut tak menghalangi niatnya untuk terus mencari harga terbaik demi mengenalkan kopi spesial dari wilayah lainnya dari Indonesia. Felix menamakan usaha kopinya dengan “Nagadi”  yang berasal dari bahasa kuno Ge’ez dari Ethiopia artinya seorang pengembara. Singkatnya kita bisa mengembara ke tempat nun jauh di manapun melalui rasa dan aroma kopi.

nagh3

Felix tahu betul bahwa sebuah cerita di balik layar tentang asal muasal kopi punya nilai tambah di hadapan konsumen Amerika. “Penikmat kopi saat ini tidak segan-segan ingin mengetahui dari mana asal kopi yang mereka minum, siapa yang memiliki kebun kopi tersebut, bagaimana suasana sosial/lingkungan dan ekonomi wilayah tersebut bahkan kalau bisa siapa nama petani yang memetik kopi tersebut. Dengan kata lain, terjadi “relationship” atau ikatan batin antar konsumen dengan produsen,” ujarnya saat menjelaskan kepada rombongan Atasa Perdagangan yang menyambanginya tanggal 5 Februari kemarin.

Pihak Atase Perdagangan terus mengupayakan  bantuan melalui “Incubator Project” yang dikembangkan oleh KBRI di Washington.  Salah satu caranya adalah memfasilitasi bisnis Nagadi dengan memfasilitasinya untuk mengikuti pameran perdagangan berskala internasional.

Felix adalah salah satu pebisnis kopi yang enggan melepaskan identitas kultural keindonesiannya, dan ia melakukannya dengan “Nagadi Coffee” sebuah pengembaraan aroma dan rasa kopi Indonesia di Amerika.

*  *  *

5 replies
  1. informasi
    informasi says:

    Saya bangga sekali mas. Tapi miris juga dengan keadaan di Indonesia, dimana kopi buatan luar lebih laku daripada kopi luwak. Bahkan, ada bule yang jauh-jauh datang ke Indonesia buat beli kopi luwak, tapi yang ada dia kesulitan menemukan kopi luwak karena jarang yang jual. Miris… 🙁

  2. Blogger Borneo
    Blogger Borneo says:

    Salam kenal Mas, kebetulan saya tahu link blog Mas ini dari harian Pontianak Post. Btw, saya merasa salut dengan eksistensi dan komitmen Mas dalam mengembangkan potensi lokal Indonesia berupa kopi hingga ke internasional. Kebetulan saya punya satu tulisan juga yang membahas mengenai Kopi Luwak Kalimantan Mas. Mungkin bisa dijadikan salah satu referensi juga karena saya juga menjual produk ini via blog. Mohon komentarnya ya Mas. Salam Blogger… 🙂

  3. ADI
    ADI says:

    semakin mantab aja neh kang.Toni sukses selalu kang Toni.mudah2an masih inget sama saya.adhi ( Barista Austalian Cruise )remembered Coffee seminar di Pacific place.maturnuhun kang.Toni

Comments are closed.