Lelaki berperawakan tegap  itu sudah menunggu kami dan sorot matanya yang tajam langsung berubah ramah menyambut kehadiran para tamu dari Jakarta. Malam itu di sela Festival Kopi Aceh, kami berkesempatan mengunjungi salah satu tokoh penting Gerakan Atjeh Merdeka atau GAM, Teungku Batee yang biasanya dipanggil Abu. Usianya sudah di pertengahan 50-an dengan warna kulit agak gelap dan rambut tipis, tapi tak satupun uban terlihat. Dulu Abu mengangkat senjata di pedalaman hutan selama lima tahun sebagai salah satu Panglima GAM, tapi kini ia sudah menghentikan aktivitas perang  gerilyanya dan berbahagia dengan  usaha kedai kopinya, Stone Cafe di jalan Cut Makam, Banda Aceh.

Ceritanya, saya dihubungkan dengan beliau oleh Joni Marsius, wong kito, yang sedang berdinas di Banda Aceh. Niat awal kami berdua  hanya ingin bersilaturahmi dalam bingkai ukhuwwah qahwaniyah, bahwa sesama pejuang kopi adalah bersaudara atau dalam basa Sunda-nya dikenal dengan coffeelicious brotherhood. Tapi untunglah Abu tak berkeberatan bila saya menulisakan pengalaman berjumpa dengan beliau sekaligus ingin sedikit mendengar kisahnya memanggul senjata di belantara hutan Aceh hingga guratan nasibnya saat ini menjadi saudagar kopi.

Jadi apa yang dilakukam oleh Abu di hutan ? Abu hanya tersenyum dan menjawab bahwa keseharian mereka dihabiskan untuk beribadah. Menurut Abu, saat itu walaupun sedang konflik, tapi seringkali tak banyak yang bisa dilakukan di hutan belantara dengan segala keterbatasannya. Selama lima tahun ia meninggalkan keluarga memimpin 50 orang anak buahnya sebelum akhirnya kembali ke Banda Aceh pasca penandatanganan perjanjian damai Helsinki di bulan Agustus 2005.

Walau sebagian hidupnya dihabiskan untuk melakukan perjuangan bersenjata, naluri bisnis Abu ternyata tak pernah padam. Hingga kini ini masih mengelola sebuah restoran yang dibuka sejak konflik bersenjata. Selanjutnya sebuah kedai kopi ia buka di jalan Cut Makam, sebuah kawasan yang mulai dipenuhi oleh berbagai cafe dan menjadi salah satu tempat anak-anak muda kota ini menghabiskan waktu terutama saat malam hari.

Stone Cafe masih menyajikan kopi saring yang khas Aceh, tapi Abu justru bertujuan untuk mulai memasuki konsep warung kopi modern dengan menggunakan meisn espresso yang sudah ia pasang di bagian depan. Mesin ini dinyalakan setiap hari walau Abu dan staff-nya belum bisa mengoperasikannya. Kebetulan Adi W. Taroepratjeka juga bergabung dalam kunjungan ini, maka saya menawarkan kepadanya untuk memberikan crash course barista kepada Abu. Sepakat.

Maka dalam waktu singkat Abu diperkenalkan dengan berbagai fungsi dan fitur yang terdapat pada mesin espresso oleh Adi. Abu juga belajar cara membuat espresso, sebuah dasar penting penyajian kopi Italia termasuk menyetel mesin giling kopi. Kesemuanya diperhatikan secara serius oleh Abu yang melihat praktek langsung dari konsultan F&B ini. Jadi baru kali ini Adi melatih salah seorang petinggi GAM dalam hal kebaristaan, sebuah pengalaman langka tentunya.

Kini giliran Abu yang harus mempraktekan kursus super singkat yang telah diberikan Adi, namun masih tetap di bawah bimbingannya sambil memperbaiki beberapa teknik dosing dan tamping. Saya tidak tahu apakah memang Abu yang cepat menangkap materi atau Adi yang pandai memberikan tausiyah-nya, secangkir espresso berhasil dibuat oleh Abu setelah beberapa kali percobaan. Abu yang masih kuat berlari jarak jauh itu karena terbiasa bergerilya di hutan,ingin melanjutkan ke tahap berikutnya, steam susu.

Sama halnya dengan espresso, Abu terus mencoba sebelum akhirnya dinyatakan “lulus” menjadi seorang barista oleh kami semua yang hadir sambil bertepuk tangan saat melihatnya menuang susu yang sudah berubah menjadi micro foam, karena tahap selanjutnya tinggal mengasah keterampilan barunya tersebut. Kami memperkirakan, sepertinya Abu akan terus berlatih hingga jauh tengah malam setelah pengalaman pertamanya menjadi seorang barista.

Bagi Abu, pengalaman pertamanya berhadapan dengan mesin espresso yang semula dibiarkan menganggur tentu akan semakin meneguhkan niatnya memperkenalkan kopi berkualitas kepada pengunjungnya cafe-nya yang selalu ramai. Stone Cafe menggunakan kopi arabika Gayo yang tak perlu lagi saya ceritakan reputasinya dan Abu bersama banyak cafe lain yang bermunculkan bisa jadi merupakan fenomena semakin diterimanya kopi spesial di tengah masyarakat Banda Aceh.

Tapi yang terpenting, malam itu kopi sudah menjadikan kami seperti saudara, ukhuwah qahwaniyah.

*   *   *

 

 

12 replies
  1. Arpi
    Arpi says:

    Maap baru nemu nih cikopi.com,…

    Coba skalian kopi tungkup (kebalik) yang Suak Ribee di daerah Meulaboh om… sangat eksotis…
    Jangan sampe pnasaran stelah pulang ke jawa.

  2. Joni M
    Joni M says:

    koreksi untuk alamat Stone Cafe kang tony. Alamat persisnya Jl.T.P.Nyak Makam No.56 Lampineung Banda Aceh. Demikian.

  3. Joni M
    Joni M says:

    Terima kasih kang Tony, senang rasanya dapat menyambung tali silahturahmi, apa lagi bonus mejeng bareng…hehehe.

  4. sutrisno
    sutrisno says:

    @sidiq:lokasi dimana bang?saya juga di daerah,saya pikir espresso belum masuk,pas iseng2 main di beberapa resto,ternyata punya juga tuh.bisa aja bang

  5. Endang
    Endang says:

    “Stone Cafe menggunakan kopi arabika Gayo yang tak perlu lagi saya ceritakan reputasinya dan Abu bersama banyak cafe lain yang bermunculkan bisa jadi merupakan fenomena semakin diterimanya kopi spesial di tengah masyarakat Banda Aceh”. Saya memperhatikan bagian akhir tulisan pak Toni diatas dan menyimpulkan, memang benar rupanya bahwa setelah sekian lama kopi Gayo dikenal bahkan sampai ke mancanegara (Gayo Mountain Fresh Coffee), ternyata didaerahnya sendiri tidak secara umum kopi tersebut dikonsumsi. Mengapa ini bsa terjadi, apakah kopi tersebut diluar Gayo kurang memasyarakat ? padahal saya mengetahui perihal kopi tersebut ketika msh duduk di fakultas pertanian lebih 30 tahun yang lalu. Nah pak Toni, sepertinya kebaikan hati anda ditunggu deh untuk menjelaskan hal ini.

    Ada banyak faktor bu, tapi masyarakat pada umumnya bersifat pragmatis. Faktor harga memegang peranan penting dan selama kopinya masih bisa dinikmati oleh mayoritas masyarakat, mengapa tidak ? Bukan hanya di Banda Aceh, banyak juga terjadi di kota-kota lainnya dan perlu waktu lagi untuk mengenalkan cita rasa kopi spesial kepada masyarakat luas. Tapi sekarang sudah banyak bermunculan banyak cafe di Banda Aceh yang meramu kopi Gayo, sebuah indikasi yang menggembirakan untuk lebih memasyarakatkan kopi spesial. Jawaban saya tentu tak memuaskan, tapi suatu saat saya ingin menuliskan apa yang menjadi perhatian bu Endang.

  6. sidiq
    sidiq says:

    Om Tony Saya benar benar tertarik dengan mesin espresso, tapi saya bingung untuk didaerah saya udah cocok blum di kenalin dengan mesin ini kalo ngopi, boleh dong di tanggapi.

    Daerah mana ? Ya harus dicoba, gak usah pake mesin, coba dengan Presso dan lihat bagaimana tanggapannya. Kalau cocok, baru invest ke mesin espresso komersial. Good luck.

  7. eick_mall
    eick_mall says:

    baru tau ternyata ada simonelli nganggur di aceh…btw om tony Abu ada niat buat nyari operator mesinnya ga? boleh neh mendaftar…

    Samperin dan kenalan sama Abu, langsung pamer latte art 🙂

Comments are closed.