Sesekali selembar kertas ditempelkan di bubuk kopi yang masih menyisakan sedikit air di atas piring kecil. Kemudian tangan2 terampil itu mulai melukis sebuah pola simetris dari sisa kopi di sebatang rokok dengan hanya menggunakan ujung sendok. Kurang dari setengah menit lukisan itu sudah mulai menampakan bentuknya, batik klasik parang barong dan Mas Wigih tersenyum sumringah sambil memberikan hasil karyanya kepada saya. Inilah aktivitas keseharian penduduk di desa Bolerejo, Tulungagung, nyethe, yang entah sejak kapan dimulainya sebagai bentuk interaksi sosial masyarakat setempat yang dihubungkan dalam kesamaan orientasi sebuah masyarakat egaliter

Perjalanan ke Tulungagung sebenarnya tidak direncanakan dalam rangkaian kunjungan ke Malang, namun seketika saya jadi bersemangat ketika mendengar ada ritual nyethe di kota ini. Walau agak tersasar kami berlima Hendri, Andri Gunawan, Ivan Citra, Tjiam Charles dan saya akhirnya sampai di jalan Bolerejo tempat “Cafe Waris” berada. Sebenarnya ada beberapa tempat yang sama di sekitar lokasi ini, namun tampaknya di cafe inilah yang banyak dikenal orang pada saat kami tersasar dan meminta petunjuk jalan kepada orang2 setempat.

Di depan cafe, kami langsung disambut dengan pemandangan unik dimana ratusan orang terutama anak2 muda yang didominasi kaum pria berkumpul sambil menikmati kopi dan melakukan aktivitas nyethe.  Tidak ada code dress untuk masuk ke warung “Pak Waris”, semua serba kasual, celana selutut, sarungan, kaus oblong, dan sandal jepit bukanlah barang haram di sini. Pengunjung umumnya duduk di kursi2 yang sudah disediakan di dalam warung, sebagian lagi selonjoran di luar dan gazebo kecil. Tidak dilarang duduk sambil mengangkat satu kaki atau tiduran seperti yang dilakukan sekelompok pemuda di pojok warung ini.

Di belakang bar terdapat “barista” yang sangat cekatan dengan kecepatan tinggi menyiapkan berbagai minuman kopi yang dipesan pengunjung tanpa putus. Jangan harap ditemukan mesin espresso karena semua minuman kopi disajikan dengan cara seduh biasa tanpa alat saring apapun. Menurutnya sehari mereka bisa menjual hingga 5000 cangkir, suatu jumlah fantastis yang bisa mengalahkan cafe manapun yang pernah kami kunjungi. Ditilik dari hasil kopi saja omzet mereka bisa mencapai lima juta rupiah per hari, belum ditambah dengan jenis minuman ain berikut penganan yang mereka jual di sini. Siapa yang tak tergiur ?

Saat ditanyakan kepada sebagian pengunjung, tidak ada yang tahu kapan aktivitas ngopi ala Tulungagung ini dimulai. Mereka hanya mengikuti kebiasaan yang telah diturunkan dari orang tuanya. Lalu apa enaknya sebatang rokok yang dilaburi cethe ? Sebagian dari mereka mengatakan bahwa kopi membuat rasa rokok lebih mantap dan tidak cepat habis. Sehari mereka bisa menghabiskan waktu setidaknya antara 2 hingga 3 jam di tempat ini. Tidak ada tujuan khusus selain mengisi waktu luang dimana nyethe sudah melekat menjadi tradisi lokal sebagaimana warung ini yang sudah buka sejak tahun 1975. Tentu saja kunjungan ini sangat berkesan, terlebih kami berlima menjadi pemandangan “aneh” terlebih saya yang hilir mudik mengabadikan kegiatan mereka dengan kamera DSLR.

Terlepas ekses negatif atau positif, itulah nyethe, ritual ngopi dan menghisap rokok yang sudah dilaburi ampas kopi (cethe) yang kalau meminjam istilah sosiolog Max Weber disebut dengan traditional action, sebuah tindakan yang dilakukan karena sudah menjadi tradisi atau kebiasaan. Nyethe.

* * * * *

16 replies
  1. cahtulungagung
    cahtulungagung says:

    That’s true story. Saya org tulungagung dan begitulah adanya. Datang, ambil nampan untuk kopi & jajan, bayar, pilih tempat sesukanya. Budaya nyethe memang mendarah daging, sampek razia polisi di jam belajarpun ke warkop, karna anak SMA bahkan SMP pun kalo mbolos ya ke warkop, nyethe!.

  2. Sasang
    Sasang says:

    Kapan-kapan boleh main juga ke tempat saya om Toni, saya juga ada pemanfaatan cethe ini ke media-media seperti gelas batik kopi, lukisan limbah kopi, hingga hiasan dinding dari limbah kopi 🙂

  3. Andik
    Andik says:

    Selamat siang Pak,
    Wah senang sekali saya,sebagai warga asli Tulungagung “kopi cethe” Tulungagung masuk ulasan Blog Pak Toni.

  4. Hade Bakda Maulin
    Hade Bakda Maulin says:

    wow..ini keren sekali Pak Toni! anyway, sy penggemar berat blog ini, isinya adalah 2 hal yg saya sukai: kopi dan fotografi.
    salam kenal Pak Toni, terus nulis – terus jepret yak!

    Makasee Mas … saya emang dijuluki tukang poto kopi … tukang moto dan ngopi 😀

  5. SARANG KOPI
    SARANG KOPI says:

    Wah bahasannya bener2 menarik nich. Kopi di Indonesia memang memiliki ke-khas-an tersendiri. MANTABH.

  6. freshroasted
    freshroasted says:

    5000 cups/day ???

    woww…outstanding.

    jangan2 konsumsi kopi di Indonesia per kapita juga termasuk salah satu yang terbesar di dunia ya pak ??…tentunya terlepas dari grade nya.

    salam

    Betul pak, 25kg per hari, mengalahkan cafe manapun 🙂

  7. catur
    catur says:

    wah…..selali lagi liputan berkelas dari penikmat kopi dan fotographer handal…..
    magsatabh pak ………………..

    Menunggu undangan dan tiket pesawat dari juragan2 kopi di Jogja 🙂

  8. woro tyas
    woro tyas says:

    Mas, waku kita ke blandongan ga sempat ya mengabadikan moment ini. Di sana juga banyak yang “nyethe”, mungkin karena blandongan berasal dari jawa timur dan kebanyakan pengunjung juga dari jawa timur, makanya di blandongan juga banyak orang yang nyethe.

    Btw, aku pernah mencoba waktu masih merokok dulu…tapi, benar-benar tidak bisa menikmati hehehe

    Iya Woro, tapi waktu kita di Jogja gak sempet …

  9. budiman
    budiman says:

    Wah, safari kopinya menggugah sekali pak! Mereka grind dari roast bean langsung? Kopi varietas apa yang dipakai pak? Penasaran jadinya. Dimasukkan ke rencana kalau mampir di sana.

    Mereka pake robusta, IMHO. Kapan ya Mas Bud kita bisa jalan bareng ke kebun kopi 🙂

  10. luvkatz
    luvkatz says:

    Wow kultur beragam masyarakat Indonesia memang unik 😉 saya lihat nyethe pertama kali di Jogja lewat tangan seorang mahasiswa ISI. Nah foto pak Toni memperjelas semuanya. Warung yang isinya masyarakat dengan kebiasaan nyethe melekat pada atribut sosial mereka. Two thumbs up! 🙂

    Iya tuh, kunjungan yang sangat berkesan melihat keragaman budaya ngopi kita.

  11. Charles
    Charles says:

    Gila abis emang ini Cafe Waris, 25 KG kopi setiap hari nya, goreng sendiri, giling sendiri, brewing sendiri.

    Kita ber-5 boleh dibilang jadi Alien begitu masuk Cafe Waris.
    Apalagi begitu pesan kopi 5 gak pakai gula, wah serasa selebritis.
    Di halaman belakang tiba tiba nongol LCD 32″ digantung di padepokan, kontras sekali dengan suasana padepokan yang country style banget.
    Semakin sore, jumlah motor yang dateng makin membludak aja.

    Pokoknya ini bener bener pengalaman tak terlupakan, coffee trip to East Java, sekaligus menguak kultur ngopi di Indonesia, khususnya Jawa Timur.

    Tujuan selanjutnya Aceh ? 🙂

  12. BoykeW
    BoykeW says:

    Reportase informatif,dengan gambar mantap,salut untuk mas Toni
    Kapan ngebahas PRESSO mas…….

    Dikirim dong supaya bisa di test sekaligus foto2.

    • BoykeW
      BoykeW says:

      Justru sebaliknya mas….saya tuh mau beli Presso,tapi nunggu ulasan mas Toni dulu, soalnya ulasan mas Toni bagi saya adalah rekomendasi.
      Asal tahu aja, gara gara mas Toni saya jadi ” keracunan ” segala hal berbau kopi.Dirumah, saya sekarang jadi kolektor Moka pot, Vietnam Drip, French Press,single originnya BC,Grinder dan lagi nabung untuk beli mesin espresso.Untung istri saya mendukung,alasannya sederhana, dulu saya gila whiskey, sekarang berubah jadi gila kopi,ha..ha…ha…….

      Kalau begitu saya nunggu yang jualan alat ini aja ngirim ke rumah … ha ha ha “ngarep. Thanks Mas Boyke atas pengakuan racun Blog Cikopi 🙂

  13. HK
    HK says:

    best writings and photos so far in this blog. it’s really worth the trip 😀

    Thanks to you … 🙂

Trackbacks & Pingbacks

  1. […] artis cethe khususnya di Tulungagung tentu sudah sedemikian akrab dengan kopi Berontoseno yang berfungsi […]

Comments are closed.